psikologi

Jumat, 24 Oktober 2008

PREMANISME DAN MASALAH SOSIAL

PSYCHOBLOGGER merupakan situs blogg yang mengkritisi masalah-masalah kehidupan sosial yang ada di dalam masyarakat dan tentunya dikupas secara menarik dari sudut pandang psikologi. Psikologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari mengenai perilaku dan proses mental manusia. Manusia dalam psikologi adalah obyek kajiannya. Jadi setiap manusia bertingkah laku dengan berbagai aktivitasnya pasti mengalami berbagai masalah yang unik, seperti karakteristik manusia dari satu dengan yang lainnya juga unik.

Tentunya pendiri PSYCHOBLOGGER tidak hanya sekedar menulis, mencurahkan aspirasi terhadap masalah masyarakat. Tetapi dalam tulisan-tulisan dalam blogg dapat memberikan manfaat yang besar kepada pembaca. Visi dan misi PSYCHOBLOGGER adalah:


  • Peka dan Peduli terhadap masalah-masalah sosial yang sedang terjadi serta mencari solusinya.

  • Mengajak pembaca untuk lebih berpikir positif terhadap masalah-masalah sosial.

  • Setidaknya dari menbaca artikel-artikel PSYCHOBLOGGER dapat memberikan insipirasi yang positif kepada pembaca.




IDENTITAS PENDIRI PSYCHOBLOGGER

NAMA : PUGUH ARIFIN, S. Psi

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

TTL : SEMARANG, 24 NOVEMBER 1985

EMAIL : teman_freud@yahoo.co.id

PHONE : 085641151764

PENDIDIKAN : - FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SEMARANG

(USM) TAHUN 2004

PEKERJAAN : - LEMBAGA PSIKOLOGI DAN PENGEMBANGAN SDM

KARTIKA” ( TESTER )

Jl. Tambak Boyo Raya No 9 Arteri Sukarno Hatta


(024) Semarang



Memahami Waria - 10 OKTOBER 2008

kesehatan mental waria | 35 views

em@il:teman_freud@yahoo.co.id



PENDAHULUAN


Oleh Puguh Arifin


Kesehatan mental merupakan ilmu pengetahuan yang praktis, sebagai penerapan ilmu jiwa di dalam pergaulan hidup. Pandanan terhadap ilmu jiwa kesehatan ini agak berbeda sesuai dengan lapangan hidup, keahlian dan kepentingan masing-masing. Dalam perkembangan terakhir, kesehatan mental menjadi perhatian dari berbagai kalangan. Selain kalangan akademisi telah melakukan berbagai riset kesehatan mental, baik lmbaga social dan pemerintah telah mencanangkan proyek-proyek di bidang ini sebagaiupaya peningkatan kesejatteraan masyarakatnya. Hal tersebut menunjukkkan kesehatan mental masyarakat menjadi kepentingan kita bersama. Kesehatan mental tidak hanya berlaku bagi kelompok tertentu saja. Pada prinsipnya sepanjang rentang kehidupan membutuhkan. Usaha kesehatan mental tidak hanya dimualai anak manusia dilahirkan, tetapi dilakukan jauh sebelumnya, yaitu sejak perencanaan perkawinan dan bahkan sebelumnya,

Ilmu kesehatam mental merupakan pengetahuan yang masih muda. Dulu orang berpendapat ganggu keseimbangan atau keharmonisan mental itu disebabkan oleh gangguan roh jahat. Maka usaha penyembuhan terhadap penderta itu dengan jalan mengusir roh-roh jahat tersebut dengan cara memukui penderita supaya roh itu pergi dan akhirnya sehat kembali, Masalah bahwa pengaruh roh juga diyakini sebagian masyarakat bahwa kelainan pada orientasi seks.juga disebabkan hal tersebut. Kelaina orientasi seks misalnya heteroseksual, homoseksual, biseksual, transgender (waria) atau sebagainya. Pada pembahasan berikut ini akan jijelaskan bgaiman kesehatan mental kaum transgender (waria).

Sebelum masuk kepada pembicaraan tentang tansgender, ada baiknya dijelaskan terlebh dahulu apa itu seksual. Seksual mengandung makna yang sangat luas karena mencakup aspek hidupan yang menyeluruh, terkait dengn jenis kelamin biologis maupun social (gender), orientasi seksual, identitas gender, dan perilaku seksual. Seksualitas adalah sebuah proses social yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau birahi manusia (the socially constructed expression of erotic desire), dan dalam realitas social, seksualitas dipengaruhi oleh interaksi factor-faktor biologis, psikologis, social, ekonimi, politik, agama dan spiritual.Seksualitas sejatinya merupakan han yang positif, selalu berhubungan dengan jati diri seseorang dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya. Sayangnya masyarakat umum masih melihat seksualitas sebagai hal yang negative, bahkan menjijikan sehingga tidak pantas dibicarakan.

Studi tentang seksualitas memperkenalkan tiga terminologi penting menyangkut seksualitas manusia, yaitu: identitas gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Kerancuan dalam memahami ketiga istilah ini akan membawa kepada kesimpulan yang keliru.

Apa itu identitas gender? Sebelumnya, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin biologis (sex) dan jenis kelamin sosial (gender). Jenis kelamin biologis dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak satupun yang dapat mengubahnya. Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang dimungkinkan mengubah alat kelaminnya, tetapi betapapun perubahan itu tidak sampai mengubah fungsinya. Berbeda dengan jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial atau gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat. Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, keras dan tegar. Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminin, seperti lembut, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan penyayang. Timbullah dikotomi maskulin dan feminin. Fatalnya, sifat-sifat maskulin selalu dinilai lebih baik daripada sifat-sifat feminin. Lebih fatal lagi, bahwa maskulinitas dan feminitas tersebut dianggap sebagai hal yang kodrati, padahal sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial. Teori psikologi menjelaskan, setiap manusia dalam dirinya memiliki unsur-unsur maskulinitas dan feminitas. Kecenderungan maskulinitas dan feminitas seseorang sangat dipengaruhi oleh pola asuh di masa kecil, nilai-nilai tradisi yang dianut di masyarakat, sistem pendidikan di sekolah formal, dan interpretasi ajaran agama.

Dengan ungkapan lain, gender bukan kodrat, melainkan bentukan sosial. Buktinya, dalam realitas sosial ditemukan tidak sedikit laki-laki memiliki sifat-sifat feminin, seperti penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup banyak perempuan memiliki sifat-sifat maskulin, seperti kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan tegar. Dapat pula disimpulkan, konsep gender tidak statis dan tidak seragam, melainkan dapat berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat.

Namun, perlu juga dicatat bahwa meskipun seseorang dapat dibentuk dan diajarkan menjadi feminin dan maskulin, tetapi tidak selalu dapat menerima bentukan dan ajaran itu mentah-mentah. Dengan demikian, identitas gender mengacu kepada pengalaman pribadi yang intens dalam setiap diri manusia berkaitan dengan gendernya, dan tidak berhubungan dengan jenis kelamin biologisnya. Sejauh ini dikenal tiga varian identitas gender: perempuan dengan feminitasnya; laki-laki dengan maskulinitasnya; dan transgender yang memiliki keduanya. Transgender mempunyai dua varian: laki-laki ke perempuan dan perempuan ke laki-laki. Jenis pertama disebut juga waria atau banci atau calabai dalam bahasa Bugis, sedang jenis kedua dinamakan tomboi atau calalai dalam bahasa Bugis. Menurut Dede Oetomo, banci atau waria tidak merujuk sama sekali pada orientasi seksual. Istilah ini merupakan label negatif untuk menunjuk perilaku dan identitas gender yang gagal, karena itu orang tua akan menyebut anaknya banci bila dia tidak bersikap wajar sesuai identitas gendernya.

Sebenarnya apa itu orientasi seksual? Studi tentang orientasi seksual menyimpulkan ada banyak varian, antara lain: heteroseksual (seterusnya ditulis hetero), homoseksual, biseksual, aseksual. Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki setiap manusia berkaitan dengan ketertarikan emosi, rasa sayang, dan hubungan seksual. Disebut hetero jika orientasi seksualnya tertuju pada lain jenis kelamin. Berikutnya, dinamai homo jika orientasi seksualnya sesama jenis kelamin; sesama laki-laki dinamakan gay, sesama perempuan disebut lesbian, dan sesama waria. Biseksual, jika orientasi seksualnya ganda: tertarik pada sesama jenis sekaligus juga pada lawan jenis. Sebaliknya, aseksual tidak tertarik pada keduanya, baik sesama maupun lawan jenis. Khusus untuk waria, orientasi seksual mereka sangat bervariasi. Sebagian besar tertarik kepada perempuan, sebagian lain tertarik kepada laki-laki, dan hanya sebagian kecil tertarik kepada sesama waria. Yang terakhir itulah yang dikategorikan sebagai homo di lingkungan waria.

Orientasi seksual manusia bersifat kodrati, tidak dapat diubah. Tak seorang pun dapat memilih dilahirkan dengan orientasi seksual tertentu. Menjadi hetero atau homo atau orientasi seksual lainnya bukanlah sebuah pilihan, juga bukan karena akibat konstruksi sosial. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan potensi kecenderungan orientasi seksual seseorang menjadi aktual setelah mendapat pengaruh lingkungan. Misalnya, potensi homo dalam diri seseorang menjadi dominan karena desakan faktor lingkungan tertentu, seperti pesantren. Menarik dicatat di sini bahwa di lingkungan pesantren dikenal beberapa istilah berkaitan dengan homo, baik gay maupun lesbi, seperti mairil, sihaq, atau sempet. Pertanyaannya, mengapa masyarakat dapat menerima hetero, tetapi menolak homo atau jenis orientasi seksual lainnya di luar hetero? Jawabnya sederhana, selama berabad-abad masyarakat memandang hetero sebagai suatu kebenaran, normal dan alamiah. Sebaliknya, semua jenis orientasi seksual non-hetero, khususnya homo sebagai abnormal, mental disorder (kelainan jiwa) atau mental illness (penyakit jiwa). Akibatnya, selama berabad-abad masyarakat melanggengkan sikap dan nilai-nilai homofobia (anti homo).

Selanjutnya, apa itu perilaku seksual? Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh konstrusksi sosial (socially constructed), tidak bersifat kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Perilaku seksual adalah cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya. Terdapat banyak varian, di antaranya oralseks dan analseks (disebut juga sodomi atau liwath dalam bahasa Arab). Sodomi atau liwath adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam dubur, baik dubur sesama lelaki maupun dubur perempuan. Karena kekurangtahuan, masyarakat umumnya mengidentikkan homo dengan waria. Jelas berbeda. Waria berhubungan dengan identitas gender, sedang homo berkaitan dengan orientasi seksual. Sebagian besar waria justru memiliki orientasi seksual hetero. Ada waria yang secara seksual tertarik pada perempuan, dan ada juga yang tertarik pada laki-laki. Hanya sedikit yang tertarik pada sesamanya waria dan inilah yang dapat dikategorikan sebagai homo. Kekeliruan lain, umumnya masyarakat mengira setiap homo laki-laki (gay) pasti melakukan sodomi dalam pemuasan nafsu biologisnya. Akibatnya, homo sering diidentikkan dengan sodomi. Ini sangat keliru. Homo adalah jenis orientasi seksual, sedangkan sodomi atau liwath adalah bentuk perilaku seksual. Sejumlah kajian menjelaskan tidak semua laki-laki homo melakukan sodomi. Bahkan, sebagian homo (gay dan lesbi) mengaku tidak mengekspresikan perilaku seksual dalam bentuk anal seks, terlebih dalam bentuk sodomi. Sebaliknya, sejumlah kasus mengungkapkan tidak sedikit laki-laki hetero melakukan sodomi terhadap perempuan dan anak-anak. Jadi jelaslah bahwa homo berkaitan dengan orientasi seksual seseorang yang bersifat kodrati, bukan perilaku seksual, bukan pula identitas gender yang keduanya bersifat bentukan sosial.

Masalahnya, konstruksi sosial mengenai seksualitas sangat dipengaruhi oleh relasi gender yang timpang. Relasi gender masih didominasi ideologi dan sistem nilai patriarki paternalistik yang membenarkan laki-laki menguasai, membelenggu dan mengontrol kehidupan perempuan dalam semua bidang kehidupan: sosial, hukum, politik, moral dan agama. Sistem ini pada ujungnya melahirkan pembagian peran gender yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Karena pengaruh patriarki, seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas. Laki-laki selalu harus dalam posisi subyek, dan perempuan hanyalah obyek, termasuk obyek seksual. Inilah yang membuat masyarakat mengkonstruksikan laki-laki harus dominan, kuat, aktif dan agresif. Sebaliknya, perempuan harus mengalah, lemah, pasif dan pasrah. Dalam realitas sosial, pandangan stereotip ini melegitimasi laki-laki melakukan dominasi, pelecehan, perkosaan dan kekerasan seksual.

Selain dipengaruhi pandangan patriarki yang bias gender, pandangan tentang seksualitas manusia juga sangat diwarnai oleh paradigma orientasi seksual hetero atau disebut juga heteronormativitas. Fatalnya lagi, heteronomativitas ini juga mempengaruhi interpretasi ajaran agama secara signifikan. Akibatnya, terjadi hegemoni heteronormativitas dalam konsep seksualitas. Konstruksi sosial masyarakat selama berabad-abad memaksakan heteronormativitas atau norma-norma orientasi seksual hetero sebagai satu-satunya kebenaran. Orientasi seksual homo dan lainnya, dianggap sebagai suatu penyimpangan, abnormal, dan tidak wajar. Bahkan, tidak sedikit menstigma kaum homo, aseksual, dan biseksual sebagai pendosa, terlaknat, penderita penyimpangan seksual, dan penyakit turunan menular. Walaupun demikian, ditemukan juga sebagian kecil masyarakat memandang homo sebagai hal yang normal dan wajar. Bahkan, sebagian memandang kaum homo sebagai kelompok penting dalam tatanan adat dan memberinya jabatan sakral, seperti kelompok bissu (penata upacara adat) di Sulawesi Selatan; kelompok warok gemblak dalam tradisi kesenian reog di Ponorogo; dan kaum shaman di suku Dayak Ngaju.

Perubahan paradigma ke arah pandangan yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan muncul seiring dengan temuan sejumlah penelitian ilmiah, terutama oleh APA (American Psychiatric Association) tahun 1970. Temuan tersebut semakin menguatkan teori bahwa homo bukanlah suatu penyimpangan psikologis, juga bukan penyakit dan sesuatu yang abnormal sebagaimana dipahami sebagian besar masyarakat selama ini. Selanjutnya, pada 1974 lembaga APA mencabut homo dari daftar penyakit gangguan jiwa. Ketetapan ini kemudian diadopsi badan internasional WHO. Departemen Kesehatan R.I melakukan hal serupa pada 1983. Sejak itu, homo diakui sebagai suatu bentuk orientasi seksual, seperti halnya hetero. Berikutnya, hak-hak asasi mereka dinyatakan dalam berbagai dokumen HAM: internasional, regional dan nasional. Salah satunya, Rancangan Aksi Nasional HAM Indonesia 2004-2009 dengan tegas menyebutkan LGBT sebagai kelompok yang harus dilindungi negara. Bahkan, dokumen internasional HAM, The Yogyakarta Principles yang disepakati 25 negara pada 2007 di Yogyakarta. Secara kuat menegaskan perlindungan HAM bukan hanya kepada kelompok homo, melainkan juga semua kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender atau Transeksual, Interseks dan Queer). Dokumen Yogyakarta

memuat prinsip-prinsip pemberlakuan hukum internasional atas hak-hak asasi manusia berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender.

Soal waria, mengingatkan bahwa mereka adalah subkomunitas dari manusia yang memiliki hak yang sama dengan manusia yang disebut normal. ”Saya sebetulnya tidak suka dengan kata normal di sini. Sebab, itu semua adalah normal.”
Menjadi waria atau istilah lainnya banci di Tanah Air adalah sebuah perjuangan. Masyarakat selalu mencibir terhadap eksistensi mereka.
Tak sekalipun mereka menginginkan hidup sebagai waria. Ini kodrat alam yang tak bisa dielakkan.”Kami ini perempuan walau bertubuh laki-laki. Seandainya dilahirkan kembali, kami juga ingin jadi manusia normal, baik secara fisik dan mental.

Memahami waria tidak semata mata sebagai ruang yang sempit tentang jati dirinya, tetapi mempelajari kehidupan waria ternyata lebih kompleks dan dari sudut mana memahaninya. Kelompok ini menuntut pengamatan sulit dijelaskan secara tepat. Karena dari sejumlah pengamatan dan wawancara (Tash, 2004: 36-38) waria yang pernah dilakukannya wawancara dan observasi, terbukti dari penuturan mereka bahwa mereka tidak menuntut kriteria untuk transeksual. Diantaranya adalah pengakuan mereka bahwa mereka tidak merasaterganggu dengan penampilan genital eksternal mereka dan oleh karena itu mereka tidak menginginkan untuk melenyapkannya. Lebih jauh lagi, mereka sadar bahwa meereka dilahirkan sebagai laki-laki, meski berpenampilan an bereprilaku sebagai perempuan.

Terdapat kemungkinan bahwa kelompok ini dapat disebut sebagai kelompok trangenderis, Mereka memenuhi cirri-ciri kelompok ini yakni bahwa mereka secara tipikal menginginkan untuk hidup sebagai anggota jenis kelamin belawanan dari jenis kelamin berdasarkan genital mereka, namun tanpa menjalani operasi secara lengkap. Kelompok ini dapat dianggap sebagai sebuah titik tengah antara Gender Motivated Transvetit dan transeksual.

Ciri lain kelompok waria adalah bahwa mereka lebih menginginkan dianggap sebagai waria dan bukan sebagai perempuan. Bahkan dalam kartu identitas mereka menginginkan untik dicantumkan berbagai jenis kelamin waria. Hal ini juga sesuai dengan ciri kelompok transgender yang menginginkan adanya jenis kelamin ketiga,Berbeda dengan transseksual yang jelas merasa bahwa diri mereka anggota salah satu gender yang ada, yakni laki-laki,atau perempuan, dan bukan yang lain.

Karena alasan-alasan di atas, tampaknya, Tidak semua waria dapat di masukan dalam kelompok transseksual sejati. Paling tidak dapat di katakana bahwa tidak semua waria adalah transseksual, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan individu-individu transseksual terdapat di dalam komunitas kelompok waria ini. Yang jelas, untuk menentukan apakah seseorang itu transseksual , atau bukan,psikolok atau psikiater harus sangat berhati-hati. Karena seperti telah isebutkan, kondisi transseksual

Mudah tertumpangtindih dengan kondisi-kondisi lain, karena kemiripan penampakannya.

A. Masa kanak-kanak dan Dewasa

Transseksual perempuan mengaku bahwa selama masa kanak-kanak awal, mereka merasa berbeda dengan anak-anak perempuan lainnya, dan mereka melibatkan diri mereka dengan anak-anak laki-laki aktivitas permain mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka bermain seperti anak laki-laki, lebih memilih senapan dan pesawat-pesawat daripada bonekah dan mainan-mainan yang lembut, dan memilih perminan yang keras seperti memanjat pohon,menangkap ikan,dan berkelahi.

Kebanyakan dari mereka mengingat bahwa mereka selalu memakai pakaian pria seperti celana penek dan kaosdan menolak memakai pakaian wanita seperti rok bawahan.Masa kanak-kanak mereka tidak sebahagian anak-anak normal, kebanyakan karena orang tua dan pengasuh tidak memahami perasaan merekadan perilaku cross-dressing mereka.

B. Kehidupan sekolah dan selepas sekolah

Saat trasseksual perempuan mulai bersekolah, mereka melanjutkan perilaku maskulin mereka.Pada usi sekolah dasar(usia 6-12 tahun), mereka akan terus bercampur dan bermain dengan anak-anak laki dan sering disebut sebagai tomboy. Mereka tidak bahagia disekolah dan sering pulang dari sekolah dari awal.

Menjelang akhir periode usia sekolah menengah pertama, sekiotar usia 14 atau segera setelah pubertas dimulai, beberapa telah mulai menunjukan kertertarikan seksual secara terbuka pada anak perempuan dan bukannya pada anak laki-laki. Mereka yang masih meneruskan sekolah akan melanjutkan perilaku maskulin mereka. Berbeda dengan transseksual laki-laki, mereka lebih sulit untuk ditandaioleh orang lain. Beberapa dari mereka mengembangkan hubungan emosional yang dekat dengan seorang teman khusus. Hubungan seperti ini akan berlanjut setelah mereka meninggalkan bangku sekolah. Pada tahap ini, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka adalah transseksual. Transseksual perempuan lebih menyukai untuk hiup di luar rumah orang tuanya dari pada anak-anak perempuan lainya pada usia yang sama.

C. Aktivitas

Kebanyakan transseksual perempuan bekerja pada jam-jam normal kantor, namun sebuah proporsi yang signifikan menunjukan bahwa mereka bekerja pada pekerjaan shift(aplus). Sebuah persentase kecil menunjukan bahwa mereka mengambil dua macam pekerjaan, kebanyakan karena mereka harus mencari uang untuk oprasi

























PEMBAHASAN


  1. Definisi Waria

Waria merupakan singkatan dari wanita pria yang mempunyai arti transeksual. Transeksual berasal dari kata trans yang artinya menyilang atau tidak sesuai, dan seks yang artinya jenis kelamin, sehingga transeksual dapat diartikan orang dengan keadaan fisiknya (jenis kelamin) tidak cocok dengan kejiwaan orang tersebut, misalnya orang yang mempunyai alat kelamin pria lengkap, namun jiwanya wanita. Sikap dan tindak tanduknya seperti wanita. hal sama juga terjadi pada orang yang mempunyai jenis kelamin wanita tapi sikap dan perilakunya seperti laki-laki. (Soehadi, 1998: 76). Menurut Kartono (1989: 226) transeksual merupakan pasien memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Kaum transeksual menganggap dirinya sebagai anggota lawan jenisnya (seringkali sejak masa kanak-kanan) dan bias merasa sangat tidak puas (tidak bahagia) dengan penampilan fisiknya. Disini, individu transeksual mempunyai keinginan untuk menjadi anggota dari jenis kelamin yang berlawanan dan mendapat kepuasan dalam peranan tersebut. Kaum transeksual mengingnkan pengobatan dan operasi hormonanl intuk mengubah alat kelamin dan cirri-ciri sekundernya, Biasanya orang tersebut minta alat kelminnya dioperasi agar diubah menjadi jenis kelamin yang berlawanan.

Dari definisi sosiologis, waria adalah suatu transgender. Maksudnya adalah mereka menentang kontruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian, perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki.

Waria dalam kontes psikologis sebagai penderita transeksual, yakni seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki, namun secar psikikis cenderung berpenampilan wanita, Sedangkan secara seksual, waria menyukai laki-laki, orientasi seksualnya itu sama hanlnya dengan homoseks

  1. Kategori Kewariaan

Menurut Benny d setianto, menemukan empat kategori kewariaan

  1. Pria yang menyukai pria

  2. Kelompok yang secara permanen mendandani diri sendiri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan

  3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan berkreatifitas sebagai perempuan

  4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok itu sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka

Bagi orang biasa, para homoseksual dikenal dengan istilah waria

  1. Homoseksual adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama, biasanya disebut gay (sesuka sesame jenis pada pria) dan lesbian (sesuka sesama jenis pada wanita)

  2. Transeksual adalah kaum homo yang mengubah bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan lawan jenis. Jika yang yang jantan mengubah dadanya dengn operasi plastic atau penyuntikan diri dengn hormone seks, dan membuang penis serta testisnya dan membentuk lubang vagina. Biasanya kaum taranseksual secara psikis tidak sama dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelamin lain

  3. Transvestitisme adalah sebuah nafsu untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya atau orang lain akan mendapatkan kepuasan seks jika memakai pakaian dari jenis kelamin lainnnya.

Sebagai pelengkap, mengenai pemahaman transeksual (waria) dari peta kelainan seksual dilihat dari sudut pandang psikologis (PPDGJ: 1993). Transeksual termasuk dalam gangguan-identitas-jenis (gender identity disorders). Gangguan ini ditandai dengn adanya perasaan tidak senang terhadap alat kelaminnya. Dengan begitu transeksual berperilaku seperti seperti wanita. Perasaan tidak suka pada alat kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif sehingga sang empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena kaum transeksual transaksi merasa bahwa alat kelamin tersebut tidak pada tempatnya. Perasaan itu terus-menerus menggangunya. Transeksual ingin menghilangkan cirri-ciri kelaki-lakiannya (kalau ia merasa perempuan) atau cirri kewanitaannya (kalau ia merasa laki-laki)

Transeksual berbeda dengan transvestite. Transvestite adalah gejala nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenisnya. Individu transvestite mendapat kepuasan seks (orgasme) dengan memakai pakaian lawan jenis (Kartono, 1985: 1910. Pendapat inisesuai dengan pendapat Tjahjono (1995, 97) yang menyatakan transvestite dewasa adalah orang yang suka berpenampilan dan berpakaian seperti lawan jenisnya, tetapi tidak menginginkan perubahan alat kelamin baik secara hormonal maupun lewat pembedahan.

Transeksual juga tidak sama dengan homoseksual, walaupun orientari seksualnya mereka memilih pasangan dengn jenis kelamin yang sama. Transeksual merasa berasal dari kelompok yang berbeda dengan homoseksual. Penyataan ini diperkuat oleh

  1. Ciri-ciri Waria

Menurut PPDGJ III ( Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa) ciri-ciri transeksual adalah:

  1. Identitas transksual harus sudah menetap, minimal dua tahun dan bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenis atau berkaitan dengn kelainan interest, genetic atau kromosom.

  2. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari lawan jenisnya, biasanya disertai dengn perasaan risih dan ketikserasian dengn anatomi tubuhnya.

  3. Adannya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Menurut Tjahjono (1995: 98) cirri-ciri untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis yaitu:

  1. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu

  2. Dorongan yang kuat untuk berpakaian seperti lawan jenisnya

  3. Mint-minatnya dan aktivitasnya berlawanan dengan jenis kelaminnya

  4. Penampilan fisik hamper menyerupai lawan jenis kelaminnya

  5. Perilaku individu yang terganggu identitas dan peran jenisnya sering menyebabkan mereka ditolak lingkungannya

  6. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya



  1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Waria

Waria disini termasuk kedalam kelompok transeksual. Adanya beberapa pendapat mngenai faktor-faktor penyebab terjadinya taranseksualitas:

  1. Disebabkan oleh faktor biologis yang berpengaruh oleh hormon seksual dan genetik seseorang.

  2. Disebabkan bukan hanya faktor biologis saja, namun juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, social budaya, termasuk di dalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya.

  3. Mempunyai pengalaman sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin seperti lawan jenis.

Sedangkan menurut (1989: 231).sebab-sebab penyimpangan seksual dengan penganut teori komprehensi, diringkaskan sebagai berikut:

  1. Sebab genetik atau factor-faktor konstitusi yang herediter atau predesposisional

  2. Pengalamn-pengalaman anak pada usia anak-anak yang sangat muda (tahun-tahun awal perkembangannya)

  3. Proses belajar secara umum selama masa kanak-kanak

  4. Kejadian-kejadian yang berasosiasi dengan awal tingkah laku seksual pada usia pubertas dan adolesensi ( Kartono, 1989: 231).



Menurut Crook dkk (1993; 76) factor–factor yang menyebabkan seseorang menjadi taranseksual adalah:

  1. Faktor biologis: factor ini dipengaruhi oleh hormone-hormon didalam tubuh

  2. Faktor pengalaman belajar social (social learning experience) seorang anak yang terlalu dekat dengan orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda mempunyai organ yang kuat untuk mengidentifikasikan dirinya dengan jenis kelamin orang tuannya tersebut.

Menurut Tjahjono (1995: factor-faktor yang menyebabkan transeksual adalah:

  1. Anak laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah, menunjukkan minat-minat, sikap dan perilaku yang feminism

  2. Hubungan yang terlalu dekat antara dengan orang tua yang berlawanan jenis kelamin. Anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengidentifikasikan orang tua yang sama dengan jenis kelaminnya dan kurang mengembangkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya

  3. Beberapa orang tua menginginkan anaknya dengan jenis kelamin lain sehingga besar menjadi anak berjenis kelamin lainnya.

  1. Masalah-Masalah Waria Sehingga Menyebabkan Terganggunya Kesehatan Mental

Ingin menjadi seorang wanita, tetapi terpenjara dalam tubuh pria, Begitulah derita kehidupan waria (. . .”Kehidupan Waria”(Online) http:??www.tv7.co.id/mws/mws view.asp?y=1121 (diakses pada jumat, 17 Oktober 2008). Keadaan yang dialami waria tersebut merupakan awal dari berbagai masalah dalam masyarakat. Dalam perjalanan hidupnya waria melewati konflik batin yang panjang sehinggga kondisi ini dapat menyebabnya gangguan pada kesehatan mentalnya.

Selama ini kaum transeksual terbiasa hidup dalam tekanan. Komunitas ini tidak ingin diperlakukan secara khusus, selain hak-haknya sebagai waria tidak diakui dan dihargai. selayakmya manusia, waria tidak luput dari permasalahan-permasalahann yang dihadapi waria antara lain.

  1. Permasalahan ekonomi, rata-rata waria berpendidikan rendah sehingga tidak ada lapangan kerja formal bagi kaum waria.

  2. Masalah social, masih adanya kontruksi miring terhadap waria dari masyarakat yang berakibat pada pendiskriminasian terhadap waria. Waria dianggap ada, tetapi masyarakat pada umumnya berusaha menyangkal keberadaannya (kecuali but acara TV)

  3. Masalah kesehatan, kehidupan waria yang cenderung gonta-ganti pasangan mengundang berbagai macam penularan penyakit kelamin

  4. Masalah hukum, waria merasa kebingungan mencantumkan jenis kelamin pada identitas mereka









  1. Kesehatan Mental Dalam Perspektif Psikososial

Di dalam sejarah kebudayaan,hanya ada dua jenis kelamin yang secara obyektif diakui oleh masyarakat, yakni laki-laki dan perempuan (Koeswinarno, 2004:71). Klasifikasi tersebut mengakibatkan penilaian perilaku, bahwa laki-laki harus seperti laki-laki dan seorang perempuan harus seperti perempuan. Orang yang berperilaku menyimpang dari itu di anggap tidak normal.

Batasan antara normal dan abnormal sangatlah samar-samar. Karena kebiasaan-kebiasaan dan sikap hidup pada suatu kelompok dianggap normal namun belum tentu di anggap normal oleh kelompok lain.

Menurut Kartono (1989: 2) sebagai standar dari tingkah laku normal diambil “tingkah laku edekuat (serasi, tepat), yang biasa diterima masyawakat pada umumnya”. Sedangkan abnormalitas adalah kebalikan dari tingkah lakua normal. Abnormal adalah tingkah laku yang tidak edekuat (serasi, tepat) dan tidaka dapatditerima oleh masyarakat. Kalau pandanga dari seksualitas, hubungan seksual yang mengandung pengertian bahwa:

  1. Hubungan tersebut tidakmenimbulkan efek-efek yang merugikan, baik bagi diri sendiri maupun patnernya

  2. Tidak menimbulkan konflik-konflik psikis, dan tidak bersifat paksaaan atau pemerkosaan

Waria dalam sosiologis termasuk dalam trangender, yaitu mereka menentang kontuksi gender yang sudah ada di dalam masyarakat yaitu laki-laki dan perempuan. Waria menentang konstruksi tersebut, yaitu secar fisik dia laki-laki namun dia berpenampilan perempuan. Peran–peran yang diambilpun peran-peran perempuan.

Gender memiliki dua makana, yang pertama adalah kata berlawanan dengan “jenis kelamin” yang rerujuk kontruksi sosisal, yang berlawanan dengan determionasi biologis. Makna kedua adalah konrtuksi sossial apa saja yang membedakan laki-laki dan perempuan

  1. Kesehatan Mental Dalam Perspektif Sosiobudaya

Menurut D”Emilio (dalam Yash, 2003: 24) dimana dimana lesbian dan gay dikejar-kejar dan mereka sendiri masih berjuang melawan pandangan yang dibentuk oleh budaya dominant yang mnyingkirkan homoseksualitas. Budaya dominant cenderung menyingkirkan ataupun menekan minoritas. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan teori Queer. Homiseksualitas didefinisikan sebagai kualitas yang berkaitan dengan ekspresi apa saja yang ditandai dengan kontra, non-, atau anti heteroseksual.

Kekecewaan kehidupan social disebabkan karena orang yang memiliki orientasi sek menyukai sesame jenis merasa tidak bias diterima oleh masyarakat. Tidak terimanya orientasi membuat mereka menerima perlakuan yang tidal adil. Hal ini yang dapat menyebabkan secara kesehatan mentang mengalami tekanan. Sementara hasrat dan seksulitas menjadi sam sentralnya dengan ras gender dan kelas semuanya menggejala dalam proses social dan budaya mendasar

Setiap orang memiliki memiliki segala perbedaaan-perbedaan dan kekurangan-kekurangan, tidak ada satupun manusia yang sempurna. Bertolak dari segala perbedaan atau sesuatu yang dianggap tidak wajar oleh kelompok itulah dimungkinkan untuk menghina teori Queer lahir.

















  1. Kesehatan mental secara klinis dan perawatan waria

Psikoterapi sangat efektif dalam merawat orang-orang transeksual (waria) jika mereka benar-benar ingin mengatasi masalahnya. Mereka yang puas hidup sebagai waria tidak begitu tertarik dengan terapi

Menurut diagnosis medis konvensional, transeksualisme adalah satu bntuk Gender Dysphoria (kebingungan gendrr). Gender dysphoria adalah sebuah term general bagimereka yang mengalami kebingungan atau ketidaknyamanan tentang gender kelahiran mereka. Bentuk lain yang lebih ringan dari kondisi ini menyebabkan perasaan sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin yang didasarkan pada genital fisik, akan tetapi hanya kadang-kadang ada tau tidak sempurna. Transeksual adalah bentuk yang paling berat dari kondisi ini, penyebabnya adalah adanya sebuah perkembangan khusus dari hubungan antara sekte dan gender seseorang. Untuk dapat memahami perkembangan ini penting terlebih dahulu kit untuk memahami arti sekte (jenis kelamin) dan gender.

Sekte ( jenis kelamin) merujuk kepaa sekte anatomis seseorang, dengan kata lain sekte mewakili penampakan internal genital, dan terdapat gonat (ovarium atau testis) yang menentukan fungsi repoduksi. Kecuali pada kasus Hermaphroditeisme yang amat jarang, sekte anatomis sangatlah jelas dan mudah diartikan.

Gender lebih suslit dan lebih kompleks untuk dipersepsikan atu digambarkan. Gender yaitu pengenalan/kesadaran pada diri seseorang, yang juga diharapkan pada orng lain, seperti yang sesuai dengan kategori social: anak laki-laki atau anak perempuan. Mayoritas populasi memiliki gender yang sesuai dengan sekte anatomis, sehingga jarang orang yang memahami bahwa sekte dan gender adalah dua hal yang bebeda dan terpisah

Transeksual adalah masalah inentitas gender, kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, apakah dirinya soreang laki-laki atau perempuan. Dimana identitas gender yang dimiliki oleh transeksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang “dikenakan” kepadanya berdasarkan genetal fisiknya. transeksual bukan mengenai orientasi seksual dan ttranseksual bukanlah masalah penyimpangan seksual.

A. Kriteria Diagnostik Transeksual

  1. Menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder (DSM III) Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) terdapat beberapa criteria yang harus dipenuhi untuk diagnosis transeksual. kriteria tersebut adalah:

    1. Suatu perasan tidak nyaman dan tidak sepantasnya sehubungan dengan anatomis seks yang dimiliki

    2. Suatu keinginan untuk menghilangkan genital yang dimiliki dan untuk hidup sebagai anggota dari jenis kelamin lain

    3. Gangguan harus terus menerus dialami (tidak dibatasi oleh periode stress) paling tidak selama du tahun

    4. Tidak ditemukannya cirri interseks secara fisik atau abnormalitas secara genetic

    5. Kebingungan gender harus tidak memiliki hubungan dengan gangguan lain, seperti misalnya skizofrenia

B. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia III (PPSGJ III) transeksual termasuk dalam gangguan identtas jenis kelamin

Transeksual

Suatu hasrat hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi seksualnya dan menginginkan untuk memperoleh terapi hormonan dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan

Pedoman Diagnostik

Untuk menegakkan dignostik ini, identitas transeksual harus sudah menetap selama minimalnya dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia atau disertai oleh suatu kelainan intersek, genetic atau kromosom seks, dan juga selanjutnya bahwa selama masa remaja dan selanjutnya, transeksual tidak menganggap cross dressing (memakai pakaian lawan jenis) sebagai homoseksual, sebuah label yang sangat menolak, meski ketertarikan mereka memiliki sebagai suatu hal yang asing dan satu obsesi dalam kehidupan mereka adalah melengkapinya. Bagi pasien-pasien ini, operasi merupakan sebuah penyelesaian akhir dari sebuah proses yangpanjang dan bukanya sebuah lompatan yang tiba-tiba ke dalam dunia perempuan.



Sudah saatnya kita mengidentifikasikan manusia secara utuh, misalnya di Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak cuma ada seks laki-laki dan perempuan, tapi ada juga gender dan orientasi seksualnya. Tak peduli lagi apakah dia itu waria, homoseks, biseks dan sebagainya. Yang penting jelas, misalnya tertulis jenis seksnya laki-laki, tapi gendernya feminim dan orientasi seksnya homoseks.

Kita sudah sering mendengar istilah gender, orientasi seksual, dan hak asasi manusia. Tapi sejauh mana pemahamannya? Misalnya jika menyangkut isu gender, selalu dikaitkan dengan wanita,” ujar doktor kesehatan masyarakat lulusan Universitas Mahidol, Bangkok, itu. Kalau melihat manusia dari kontruksi seksualitasnya, manusia terdiri dari tiga variabel yakni gender, seks, dan orientasi seksual.manusia lahir ke dunia terdiri dari 2 jenis kelamin, jantan dan betina. Gender adalah penampilan dari seks itu misalnya penampilan yang feminim atau maskulin. Sementara itu, orientasi seksual bisa heteroseksual, biseks, homoseks, membujang, dan sebagainya.
Kalau konteks waria dilihat dari persoalan ini, lanjut aktivis Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu, perkara waria tidak ada masalah lagi. Itu hal biasa karena salah satu jenis manusia yang seksnya jantan, gendernya feminim dan orientasinya homoseks.
Masih banyak jenis laki-laki lain. Tampaknya dia jantan, gendernya maskulin, namun orientasi seksnya homoseks.

Soal waria, mengingatkan bahwa mereka adalah subkomunitas dari manusia yang memiliki hak yang sama dengan manusia yang disebut normal. ”Saya sebetulnya tidak suka dengan kata normal di sini. Sebab, itu semua adalah normal.”
Menjadi waria atau istilah lainnya banci di Tanah Air adalah sebuah perjuangan. Masyarakat selalu mencibir terhadap eksistensi mereka.
Tak sekalipun mereka menginginkan hidup sebagai waria. Ini kodrat alam yang tak bisa dielakkan.
”Kami ini perempuan walau bertubuh laki-laki. Seandainya dilahirkan kembali, kami juga ingin jadi manusia normal, baik secara fisik dan mental. Dalam keadaan serba salah itu, kami hanya bisa pasrah menerima nasib. Kami tidak bisa membohongi diri terus-menerus bahwa kami seorang waria,” begitu bunyi jeritan hati kaum waria yang sedang berkumpul di Jakarta untuk mengikuti kontes Ratu Waria Se-Indonesia. (Sesudah diskusi ini selesai dilanjutkan dengan kontes tersebut)
Kontes Ratu Waria tingkat nasional ini yang baru pertama kali diadakan ingin mempertegas posisi waria di Tanah Air. Mereka ingin bangkit bersama dengan identitas ini.

Sejauh ini masyarakat selalu memandang miring mereka. Mereka juga mengalami penindasan yang bertubi-tubi, mulai dari dirinya sendiri, keluarga, masyarakat secara keseluruhan.
Ketika mereka melamar kerja, mereka ditolak dengan alasan yang tak jelas. Mereka juga tak memiliki KTP karena memang berbeda, dan tak ada kesempatan untuk menuliskan kata waria dalam kartu identitas mereka.
Kalau pada akhirnya mereka lari ke jalanan, itu bukan karena sekadar ingin mejeng, namun mereka membutuhkan sebuah wadah bersama untuk saling komunikasi.

Mereka tak punya tempat dan pilihan lain.
Selama ini bidang pekerjaan yang dianggap cocok buat mereka adalah dunia hiburan dan salon kecantikan. Mereka padahal juga ingin berprofesi sebagai pegawai negeri, penjaga toko, model, dan sebagainya. Mengapa pintu-pintu itu selalu tertutup untuk mereka? Apakah karena status mereka itu?

Ada sebuah pengalaman dari Papua seperti yang diungkapkan Henny Ismayudi (39), Ketua Forum Komunikasi Waria Papua. Di Papua ketika tahun 1990-an, eksistensi mereka tak diterima masyarakat.
Henny lantas berpikir keras bagaimana kaum ini bisa menjadi bagian dari masyarakat Papua. Timbul idenya untuk mengadakan pertandingan eksibisi dengan para pemuda di sana.
Henny meminta izin dari Lurah dan RT setempat lalu secara sengaja bermain di gang-gang di mana mereka tak disukai. Di sinilah awalnya mereka diterima oleh masyarakat.

Henny dan banyak menerima undangan dari RT dan Kelurahan lain untuk bereksibisi. Dalam sehari, mereka bisa sampai 4 kali pertandingan.
Karena sudah merasa diterima, mereka membuat acara yang lebih besar lagi di Gedung Olahraga Jayapura. ”Yang hadir bukan main, stadion penuh ingin menyaksikan kami. Hati saya bahagia ternyata akhirnya kami diterima. Bahkan untuk ke Jakarta dengan 11 waria, Pemda Papua memberi bantuan tiket pesawat dan kapal laut,” ujar Henny yang bangga dengan pemdanya itu.
Sebagai tokoh waria dari kawasan timur, Henny suka miris membaca berita seram seputar waria yang terlibat kriminal. Kenapa pers lebih senang mengungkap hal negatif dari waria? Banyak juga hal positif yang telah dilakukan mereka. Dia takut kalau orang daerahnya khususnya Pemda ikut membaca soal negatif itu dan tak mau peduli lagi.

KTP
Mungkin satu-satu pemda yang mendukung kaum waria adalah Papua. Sebab bagi waria yang ingin membuka usaha diberi modal, begitu lanjut Henny.
Padahal provinsi paling timur Indonesia itu terbelakang dalam pembangunan. Mungkin pemerintah setempatnya memiliki jauh ke depan bahwa mereka pun aset yang perannya juga tak kalah dengan warga yang lain.
Perhatian Pemda Papua dibuktikan lagi dengan memasukan waria ke dalam jenis kelamin perempuan. Maka KTP waria sejak 1998 adalah KTP perempuan sebab di situ ditulis berjenis kelamin perempuan. Padahal sebelumnya yakni sejak 1987-1997 tertulis di KTP sebagai waria. Alasan penggantian ini, menurut Henny, karena pemerintah hanya menganut 2 jenis KTP untuk laki-laki dan perempuan.





























KESIMPULAN



Waria merupakan singkatan dari wanita pria. Dari definisi sosiologis, waria adalah suatu transgender. Maksudnya adalah mereka menentang kontruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian, perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki.

Waria dalam kontes psikologis sebagai penderita transeksual, yakni seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki, namun secar psikikis cenderung berpenampilan wanita, Sedangkan secara seksual, waria menyukai laki-laki, orientasi seksualnya itu sama hanlnya dengan homoseks.

Waria disini termasuk kedalam kelompok transeksual. Adanya beberapa pendapat mngenai faktor-faktor penyebab terjadinya taranseksualitas, yaitu faktor biologis yang berpengaruh oleh hormon seksual dan genetik seseorang, faktor psikologis, social budaya, termasuk di dalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya. mempunyai pengalaman sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin seperti lawan jenis.

Kesehatan mental secara klinis dan perawatan waria. Psikoterapi sangat efektif dalam merawat orang-orang transeksual (waria) jika mereka benar-benar ingin mengatasi masalahnya. Mereka yang puas hidup sebagai waria tidak begitu tertarik dengan terapi

Menurut diagnosis medis konvensional, transeksualisme adalah satu bntuk Gender Dysphoria (kebingungan gendrr). Gender dysphoria adalah sebuah term general bagimereka yang mengalami kebingungan atau ketidaknyamanan tentang gender kelahiran mereka. Bentuk lain yang lebih ringan dari kondisi ini menyebabkan perasaan sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin yang didasarkan pada genital fisik, akan tetapi hanya kadang-kadang ada tau tidak sempurna. Transeksual adalah bentuk yang paling berat dari kondisi ini, penyebabnya adalah adanya sebuah perkembangan khusus dari hubungan antara sekte dan gender seseorang. Untuk dapat memahami perkembangan ini penting terlebih dahulu kit untuk memahami arti sekte (jenis kelamin) dan gender.

Sekte ( jenis kelamin) merujuk kepaa sekte anatomis seseorang, dengan kata lain sekte mewakili penampakan internal genital, dan terdapat gonat (ovarium atau testis) yang menentukan fungsi repoduksi. Kecuali pada kasus Hermaphroditeisme yang amat jarang, sekte anatomis sangatlah jelas dan mudah diartikan.

Gender lebih suslit dan lebih kompleks untuk dipersepsikan atau digambarkan. Gender yaitu pengenalan/kesadaran pada diri seseorang, yang juga diharapkan pada orng lain, seperti yang sesuai dengan kategori social: anak laki-laki atau anak perempuan. Mayoritas populasi memiliki gender yang sesuai dengan sekte anatomis, sehingga jarang orang yang memahami bahwa sekte dan gender adalah dua hal yang bebeda dan terpisah

Transeksual adalah masalah inentitas gender, kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, apakah dirinya soreang laki-laki atau perempuan. Dimana identitas gender yang dimiliki oleh transeksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang “dikenakan” kepadanya berdasarkan genetal fisiknya. transeksual bukan mengenai orientasi seksual dan ttranseksual bukanlah masalah penyimpangan seksual.

A. Kriteria Diagnostik Transeksual

  1. Menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder (DSM III) Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) terdapat beberapa criteria yang harus dipenuhi untuk diagnosis transeksual. kriteria tersebut adalah:

    1. Suatu perasan tidak nyaman dan tidak sepantasnya sehubungan dengan anatomis seks yang dimiliki

    2. Suatu keinginan untuk menghilangkan genital yang dimiliki dan untuk hidup sebagai anggota dari jenis kelamin lain

    3. Gangguan harus terus menerus dialami (tidak dibatasi oleh periode stress) paling tidak selama du tahun

    4. Tidak ditemukannya cirri interseks secara fisik atau abnormalitas secara genetic

    5. Kebingungan gender harus tidak memiliki hubungan dengan gangguan lain, seperti misalnya skizofrenia

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia III (PPSGJ III) transeksual termasuk dalam gangguan identtas jenis kelamin

Transeksual

Suatu hasrat hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi seksualnya dan menginginkan untuk memperoleh terapi hormonan dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan

Pedoman Diagnostik

Untuk menegakkan dignostik ini, identitas transeksual harus sudah menetap selama minimalnya dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia atau disertai oleh suatu kelainan intersek, genetic atau kromosom seks, dan juga selanjutnya bahwa selama masa remaja dan selanjutnya, transeksual tidak menganggap cross dressing (memakai pakaian lawan jenis) sebagai homoseksual, sebuah label yang sangat menolak, meski ketertarikan mereka memiliki sebagai suatu hal yang asing dan satu obsesi dalam kehidupan mereka adalah melengkapinya. Bagi pasien-pasien ini, operasi merupakan sebuah penyelesaian akhir dari sebuah proses yangpanjang dan bukanya sebuah lompatan yang tiba-tiba ke dalam dunia perempuan.







DAFTAR PUSATAKA



Kartini, Kartono. 1986. Ganguan-ganguan psikis. Bandung: Sinar Baru

_____________. 1992. Ganguan-gangguan psikis. Jakarta: Rajawali

_____________. 1992. Patologi social. Jakarta: Rajawali

Mulia, Siti Musdah. 2008. Memahami Homoseksualitas (Membaca Ulang Pemahaman Islam). http://www.icrp-online.org Diakses pada tanggal 10 oktober 2008

Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat atau kodrat?. Yogyakarta: Pustaka Marwa

Pujileksono, Sugeng. 2005. Waria dan Tekanan Sosia. Malang: UMM Press

Sopyan, Merlyn. 2004. Hidup Sebagai Waria. Semarang: LKis Pelangi Aksara

Yash. 2003. Transeksual Sebuah Kasus Perkembangan Transeksual Perempuan Ke Laki-laki. Semarang: Aini

Warsito. 1993. Pedoman Penggolongan Dan Diagnostik Gangguan Jiwa. Jakarta:








Premanisme Suatu Bentuk Patologi Sosial, Perkembangan

Dari masa ke masa

Senin, 05 Oktober 2008 | 21 views | patologi dan rehabilitasi sosial

Em@il:teman_freud@yahoo.co.id



PEMBAHASAN

Oleh Puguh Arifin

Selama berabad-abad, manusia hidup saling ketergantungan baik dengan sesama manusia ataupun dengan lingkungan alaminya. Manusia sebagai makhluk social hidup dalam suatu kelompok dalam lingkup kecil maupun masyarakat yang lebih besar pasti didalamnya terdapat beda pemikiran dan pendapat dalam menentukan kesepakatan bersama yang bermanfaat dalam tatanan bermasyarakatnya, apabila ada individu-individu yang tidak sependapat maka mereka akan memisahkan diri dan timbulah komunitas baru dari kelompok yang tidak sependapat tersebut, lantas timbulah konflik, patologi sosial, dan lain-lain. Untuk menghindarkan konflik maka dibutuhkan suatu norma yang mengatur manusia supaya lebih baik sehingga menghindarkan seseorang dari hal-hal yang menyimpang dari masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai norma-norma yang mengatur kehidupan pribadi atau hubungan antar pribadi. Norma-norma yang berlaku diharapkan akan ditaaanti oleh setiap warga masyarakat agar kehidupan masyarakat berlangsung aman, tertip dan damai. Perilaku yang menyimpang (deviant behavior) dari norm-norma yang berlaku merupakan gejala yang abnormal dan akan menimbulkan problem social. Problem social semacam itu sering disebut sebagai “penyakit masyarakat” yang harus ditanggulangi. Sekalipun tidak dikehendaki namun dalam masyarakat selalu muncul penyakit-penyakit masyarakat. Secara patologi sossial ada banyak factor yan dapat menjadi penyebab munculnya penyakit masyarakat. Misalnya faktor ekonimi seperti kemiskinan, pengangguran, factor biologis, lemahnya penghayatan agama, budya, perubahan nilai social dan sebagainya.

Tidak ada kriteria baku untuk menentapkan apakah suatu gejala tertentu merupakan penyakit masyarakat atau bukan. Kriteria yang berlaku pada masyarakat satu belum tentu sama bagi masyarakat yang lain, antara kelompok satu dengan yang kelompok yang lain. Kriterian itu pada dasarnya sangat relative dan sangat tergantung pada sikap masyarakat sendiri untuk menentukan apakah perilaku abnormal atau penyakit masyarakat termasuk dalam kategori penyakit masyarakat atau bukan.

Manifest dari penyakit sossial mincul jika terjadi kepincangan (lag) karena adanya ketidaksesuaian antara perilaku dengan norma-norma dan nilai-nilai social dalam masyarakat. Contoh-contohnya seperti perjudian, mabok-mabokan, pelacuran, perselingkuhan, premanisme. Contoh tersebut telah disebutkan merupakan penyakit masyarakat yang benar terjadi dimasyakarat, dan sutu ilmu yang mengkaji mengenai penyakit masyarakat tersebut disebut patologi social. Patologi social adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang dianggap “sakit”disebabkan oleh factor-faktor social atau lebih tepatnya ilmu tentang penyakit masyarakat.

Salah satu yang akan dibahas dalam topik ini mengenai premanisme, alasanya memang premanisme merupakan bentuk penyakit masyarakat, timbunya premanisme dari produk kompeksitas masalah dalam masyarakat sehingga timbuhlah cara-cara seperti kekerasan fisik maupun verbal terhadap orang lain untuk mendapatkan pengakuan bahwa yang kuat akan menang, yang berkuasa lebih menguasai.lagi. tidak semua premanisme diukur dalam bentuk dalam mendapatkan materi dari orang lain dengan cara-cara yang menyimpang. Tetapi, premanisme seiring perkembangan jaman ternyata bentuk premanisme sudah masuk dalam bidang social ekonomi, politik, sosia budaya mayarakat, hinnga teknologi informasi. Berikut ini pembahasan mengenai “Premanisme Suatu Bentuk Patologi Sosial Dan Perkembanganya”. Akan dijelaskan dengan kasus-kasus benar sudah terjadi ditengah masyarakat.

  1. Premanisme Gaya jaman prasejarah

Zaman prasejarah dimana orang belum mengenal tulisan, dan kehidupan masyarakat pada jaman ini masih primitive, premanisme yang sering terjadi dalam misalnya perebutan terhadap bahan makanan yang biasanya terjadi, misalnya merampas umbi-umbian dari orang lain sehingga terjadi perkelahian, hingga bias juga sampai mengakibatkan kematian karma merampas makanan. Irasakan memeng kelihatan lucu sekali kehidupan pada jaman itu. Memang kondisi tersebut yang terjadi karena tatanan bermasyarakat belum ada. Intinya yang didapatkan dari bentuk premanisme pada jaman prasejarah semata-mata karena pemuasan terdapat kebutuhan perut semata, contohnya mrampas bahan makanan.

B. Premanisme Gaya kolonial

Meningkatnya premanisme pada masa ini ditandai revolusi industri, dimana setiap negara berlomba-lomba menjadi yang lebih hebat dan tanggu dalam menguasai bidang. Sepert menuasai pasar dunia, ekonomi, bahkan pelebaran daerah kekuasaan atau daerah jajahan yang semata-mata untuk kepentingan negara yang menjajah. Salah contohnnya ditunjukkan denan peramnisme dengan gaya militerisme.

KASUS:

Cukup menarik, untuk mengikuti perkembangan penilaian dari paham Militerisme yang berkaitan erat dengan sektor preman. Bahkan sektor preman sudah disebut premanisme karena juga sudah menjadi sebuah pengakuan umum dari bagian system kehidupan budaya sosial-politik/-ekonomi bangsa Indonesia sampai saat ini.

Untuk menghadapi tantangan baru dengan adanya kemungkinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ‘tidak’ punya partai pendukungnya, akan memenangkan dan menduduki ‘singgasana’ kepresidenannya pada hasil putaran ke-dua di bulan september mendatang. Sudah sewajarnya bagi para pemerhati Pemilihan Calon Presiden kali ini untuk mengerti penilaian secara teliti dan jernih sehubungan dengan meluasnya perkembangan paham Militerisme-Premanisme sejak era Suharto hingga pada era paska-suharto itu dibagian tertentu sistem kehidupan budaya sosial-polotik bangsa Indonesia.

Memang pada kenyataan terakhir ini telah terjadi adanya imbas Militerisme yang telah berintegrasi kearah menyatu di sektor preman. Bahkan sudah merupakan suatu asimilasi monster baru atau sudah menjadi resep improvisasi hidangan makanan yang paling nikmat bagi para penganut paham Militerisme-Premanisme. Dan monster baru itu dengan tanpa tedeng aling-aling tidak memperdulikan apakah resep-improvisasi hidangan makanan tersebut akan juga memberi kenikmatan kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan hidup bagi warga penduduknya.

Catatan dalam sejarah perkembangan pergerakan politik di Indonesia dari jaman kolonial Belanda pun sudah pernah ada sejak para penguasa kolonial dan penguasa lokal harus menghadapi kekuatan para DJAGO di Jawa yang dianggap nakal itu tapi sangat disegani oleh rakyatnya yang tinggal di pedesaan. Misalnya, sejak abad ke 19 di Banten para Djago yang disebut Jawara telah mempunyai konotasi negatif dimata penguasa lokal maupun penguasa Kolonial. Mereka ini selalu diawasi, dikejar-kejar dan dipenjarakan oleh penguasa setiap ada keresahan dan huru-hara. Pada umumnya Jawara dianggap oleh penguasa sebagai salah seorang penyulut keonaran. Sedangkan di pihak kaum rakyat pedesaan penggarap lahan tani ataupun perkebunan, yang hidupnya dibebani wajib bayar pajak tinggi berupa hasil panen atau uang oleh penguasa lokal, menganggap Jawara sebagai pahlawannya karena keberpihakannya untuk membebaskan kaum tani yang di tindas dan dihisap oleh penguasa.

Para pelaku kolonial Belanda, yang menduduki dan menjajah daratan Nusantara sejak tahun 1595 atau di abad ke 16, sebenarnya sudah memulai dengan meningkatkan perangkat bangunan kelembagaannya beserta perangkat sarana pendukungnya. Pendekatan yang dilakukannya, yaitu melalui negosiasi dengan cara berkompromi terhadap para ‘Radja’ lokal atau disebut penguasa kerajaan dan penguasa kesultanan di berbagai daratan nusantara ini. Tentu pendekatan tersebut dilakukan dengan sikap dan tindakan kekerasan yang sangat tidak menusiawi. Karena tujuan utamanya adalah demi keamanan dan kenyamanan dalam merampok dan menguras kekayaan alam yang Indonesia miliki itu. Keabsahan untuk bersedia melakukan kekerasan dianggap demi keamanan kesejahteraan hidup sang para penguasa kerajaan lokal beserta para pendukungnya, misalnya antara lain para priayi yang menduduki jabatan pamongprajaan setempat yang dianggap sebagai pengikut loyalisnya. Sementara itu sebagian dari para “Djago” yang dikenal pada jamannya sebagai orang kuat berasal dari keluarga sederhana dan memiliki ilmu silat tinggi. Mereka menganggap dirinya sebagai bagian yang tidak berpihak pada para pengikut loyalis penguasa lokal tersebut. Berdasar Sikap mendukung dan memihak pada kaum tani atau penggarap lahan perkebunan di pedesaan dikarenakan adanya rasa permusuhan yang sebenarnya berupa dendam terhadap pamongpraja dan polisi yang dinilai sebagai penyalur kebudayaan barat yang dianggap kafir. Sehingga berhasillah penyatuan antar para kekuatan lokal yang diwakili club's Radja Lokal yang berasimilasi dengan kekuatan penjajah untuk menghadapi kekuatan para “DJAGO” yang berpihak pada kaum pendukung yang posisinya dirugikan seperti para kyai dan haji yang kharismatis.

Refleksi militer-Premanisme abad 20

Dalam catatan perkembangan sejarah sistem kehidupan budaya sosial-politik/-ekonomi mancanegara, juga dialami dan sangat dirasakan oleh penghuni penduduk nya sampai akhir di abad ke 20. Imbas kekerasan dari komplot sektor kekuatan Militer dan Preman dalam kehidupan masyarakat Industrialisasi, yang juga mengalami persoalan kekerasan militerisme, telah melahirkan model kehidupan masyarakat baru era militerisme antara lain Adolf Hitler di Jerman, Musolini di Italia, Franko di Spanyol dengan disebut sebagai kekuasaan pemerintahan rejim Fascisme.

Di Afrika Selatan pun telah dianggap sebagai negara terakhir di abad ke 20 yang mentas dari ikatan dan jeratan kekerasan paham Militerisme dan Premanisme. Yang mana ketika itu dengan bangganya kaum pendukung pemerintahan Apartheid turut mengibarkan bendera kekuatan legitimasinya serta menamakan dirinya sebagai penganut sistim pemerintahan rejim Rasisme. Keberhasilan atas perjuangan anti Apartheid rejim tersebut, tetap menilai untuk lebih keras bekerja guna membersihkan sisa-sisa- elemen pengaruh jangkitan virus dari penyakit kanker paham Rasisme, yang dilaluinya selama ratusan tahunan telah mendominasi tatanan kehidupan manusia di Afrika Selatan.

Abdi Dalem refleksi simbol tradisi Demokrasi

Tradisi Demokrasi yang pernah dibangun telah mengalami tantangan baru dalam prosesnya. Ini ketika "Nasionalisasi Perusahaan Belanda/ Asing" sejak tahun 1957 dipercayakan pada para penganut "tangan besi dan Parang", yang diwakili oleh a.l Nasution cs. Kepercayaan tersebut dianggap olehnya sebagai keberhasilan guna menggantikan dan menduduki posisi Manajers Perusahaan Nasional. Para Manajers tersebut yang juga memiliki hak autonominya untuk mengelola dan mengatur pelaksasanaan pekerjaannya guna mencapai sasaran. Dengan begitu mereka mendapatkan keleluasaannya, antara lain dalam melakukan tindakan kekerasan. Pengabdiannya juga mendapat pengakuan sebagai salah satu bagian pendukung yang menunjukan sikap loyalitasnya kepada “bapak Revolusi Kemerdekaan”. Biar pun ini juga berarti telah melahirkan embrio kekerasan baru yang menyikapi pada setiap pemunculan konflik sosial di sektor pabrik dan perkebunan. Peranannya sebagai penyanggah “Keamanan Nasional” demi menyelamatkan jiwa semangat Revolusi 1945 juga dianggap berhasil untuk memainkan perananya di sektor pedesaan. Sejak saát itu konflik di berbagai sektor sosial, dalam proses perkembangan demokratisasinya, di isi oleh bermacam ketegangan sosial kehidupan vertikal maupun horizontal antar pro dan kontra atas kepentingannya masing-masing di berbagai sektor Nasional. Dengan begitu para pelaku di sektor militer berhasil mengambil posisi pemegang kartu truf kekuatan Ekonomi-Industri Nasional.

Pencapaian sukses besar di tahun 1965 adalah atas manipulasi politik yang menjadi keabsahan sebagai pengambil alihan kekuasaan politik-militer disambut hangat oleh para pendukung loyalisnya, serta ikut berpesta pora diatas darah rakyat yang dianggap bersalah ataupun tidak terbukti kesalahannya. Para preman loyalis militerisme ikut bersorak ria dan menawarkan dirinya untuk tetap siap setia dan loyal terhadap sang para Bapak-bapak yang menang! Perlu di ingat bahwa karakteristik premanisme secara terbuka berkiprah kekerasan dengan slogan "Asal bapak senang...kalau ada uang, maka ada sayang toh?" Disinilah yang menjadi ukuran loyalitas sang preman sejati.

Laju pembangunan perangkat pendukung militerisme dan premanisme melalui sistim sosial politik ditempatkan sebagai wadah warna moral dan etika paham baru untuk dijadikan tatanan kehidupan baru bangsa Indonesia. Legitimasi ISME baru mendapat sebutan pemerintahan ORDE BARU yang secara hakiki sistim pemerintahannya mengandalkan proses produksi kekerasan fisik maupun siksaan psikologis. Ilmu sulap ála mbah Dukun bagaikan akibat kemujaraban ramuan ilmu sihir di era Soeharto. Dominasi pengaruh kekuasaannya yang dilaluinya selama 32 tahun konon dapat dirambatkan ke dalam periode paska Soeharto karena mempunya makna tautan. Tentu aliran ilmu sulap ála Mbah Dukunnya akan selalu mengalami penyesuaian yang mengandung konotasi kekerasan pada setiap proses perkembangan ISME-nya.

Pengamatan ini tentunya akan tidak terlepas dalam lembaran sejarah proses kemerdekaan dan rakyatnya yang oleh awal ISME ORDE BARU mendominasi warna aspek kehidupan masyarakat bangsa Indonesia hingga saat ini.
Sejak saát itu berbagai bangsa bekas jajahan Kolonial dengan suka rela berganti jubah menjadi bangsa penganut Legalisasi Kekerasan Militer. Contoh di negara Chili, Amerika Latin, pada tahun 1973 akhirnya dibawah paksaan untuk menyusul nasibnya sang Indonesia yang dianggap berhasil dalam mencapai membangun Rejim Militer dan kekuasaan ISMEnya dibawah struktur pemerintahan Birokrasi-Militer. Dan inipun bisa dinilai sebagai sikap pengabdiannya terhadap kepentingan status quo adikuasa mancanegara dalam melahirkan paham Isme-Baru: Militer – Preman di Indonesia.

ISME sebagai budaya kehidupan Global

Ketika kita hidup di Indonesia pada tahun 1965–1973 pun, sudah sangat terasa adanya suatu perbedaan yang menegangkan dalam mengalami proses kehidupannya yang tidak menyamankan untuk menghadapi persoalan birokrasi-Militer dari bagan struktur pemerintahan. Sikap pelayanan untuk kemasyarakatan dari tingkat RT (RT/ Kantor wilayah tingkat kepala desa sub bagian lingkungan daerah, RW (Rukun Warga/ Kantor Wilayah tingkat kepala desa sub bagian lingkungan warga), Lurah (Kantor Wilayah tingkat Kepala desa wilayah sub bagian lingkungan daerah dan warga), Camat (Kantor Wilayah Tingkat Kepala Desa yang membawahi sub-sub RT, RW dan Lurah) dan seterusnya disepanjang mata rantai kepulauan Nusantara. Makna kehidupannya tentu akan menunjukan kesan tindakan yang bersifat untuk mengontrol warganya yang dianggap mengancam kestabilan atas kekuasaannya. Dan hikma dari ilmu ‘uang sulap’ nya pun dijadikan anjang ritual keabsahan untuk menindas para pelaku pelanggaran terhadap Hak Asasi Kemanusiaan.

Disisi lain muncul pula persoalan yang menegangkan untuk menghadapi imbas paham ISME – Baru hasil asimilasi Militerisme dan Premanisme yang mewarnai proses pergerakan politik/-ekonomi di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah, “bagaimana arah politik pergerakan politik para pendukung demokratisasi demi menyelamatkan arti kemerdekaan negara dari keterpurukannya?”
Bilamana figur SBY yang bekas Militer itu (pensiunan Letnan Jendral) bisa berhasil dengan gampangnya naik panggung kekuasaan sipil dibawah pemerintahan “Rechtsstaat” (Negara Hukum), apakah itu semua tanpa dukungan ‘gawe’ dari gengnya? Biar pun dia masih tetap dianggap tidak punya atau tidak butuh partai pendukungnya

Berbicara mengenai politik di Indonesia yang sedikit dibahas pada uraian di atas. Ternyata didalam panggung politikpun terdapat bentuk premanisme. Ini menarik dibahas lebih lanjut, karena kondisi poitik Indonesia sekarang masih hanhat ditelinga dimana adanya pesta politik di daerah-daerah, seperti pemilihan calon legislatif maupun pilkada daerah. Untuk uraian berikutnya akan dilengkapi dengan kasus mengenai “Beda Tipis, Birokrasi dan Premanisme”. Dan juga ditambahkan lagi kasus mengenai premanisme dalam budaya Bali yang khas, yang belum tentu sama dianggap sebagai penyakit mayarakat.

KASUS:

Penyerangan kantor majalah Tempo atas pemberitaannya mengenai Tomy Winata di TEMPO edisi Senin, 3 Maret 2003, yang berjudul “Ada Tomy di Taneabang?” tidak saja menimbulkan konsern serius terhadap kebebasan pers, tetapi juga memberikan kecenderungan kuat kalau cara-cara premanisme sudah menjadi salah satu menu utama dalam menyelesaikan ketidaksetujuan (dispute).

Kecenderungan ini sangat negatif di dalam upaya mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Pertanyaannya, mengapa sampai premanisme menjadi salah satu menu utama dalam menangani dispute. Ini paling tidak disebabkan oleh dua hal.

Pertama, berkembangnya premanisme disebabkan adanya budaya yang cenderung anti dan hostile terhadap perbedaan. Sering perbedaan pendapat, sikap dan prinsip diartikan sebagai tindakan offensif. Karenanya harus dibalas dengan tindakan offensif yang tidak jarang melampui batas bahkan menjadi kekerasasan.

Apabila masyarakat mengembangkan budaya yang lebih konstruktif terhadap perbedaan, maka setiap perbedaan apakah dalam melihat fakta, mengintepretasikan dan menyimpulkannya termasuk yang ekstrim sekalipun akan cenderung disikapi dengan lebih beradab. Ketika majalah Tempo menghadirkan sesuatu yang menurutnya adalah fakta dalam kasus kebakaran Pasar Tanah Abang, pihak tertentu melihatnya sebagai sesuatu yang offensif dan harus direspon secara offensif dan kekerasan.

Kedua, yang menjadi fokus tulisan ini adalah karena berkembangnya appresiasi terhadap premanisme sehingga cenderung sudah dilembagakan (institusionalisasi). Misalnya adalah tidak sedikit individu-individu yang sebelumnya dekat dengan dunia kekerasan menduduki posisi penting dalam hirarki organisasi politik bahkan menjadi anggota legislatif pusat ataupun daerah. Ini tidak lepas daripada dwi-fungsi barisan muda sebagai sistem pengkaderan di satu sisi tetapi sebagai mekanisme defensif intimidatif di sisi lain. Karena tidak banyak yang mampu dan berkesempatan meraihnya, menjadi anggota legislatif adalah suatu prestasi tersendiri. Dan bila itu terwujud karena prestasi dalam dunia kekerasan, dengan sendirinya masyarakat dihadapkan dengan budaya yang harus mengapreasiasi preman dan akhirnya premanisme dianggap menjadi suatu karir yang menarik.

Praktis partai-partai politik utama, baik dari jaman Orde Baru sampai era reformasi sekarang, memiliki elemen barisan muda pendukung yang memiliki tendensi diarahkan untuk tujuan intimidatif. Di dalam konsepnya memang kelompok barisan muda tersebut adalah bagian integral dari proses pengkaderan partai. Tetapi pada kenyataannya, tidak jarang ditujukan sebagai alat defensif yang intimidatif dan bisa berubah menjadi kekerasan.

Umum mengetahui misalnya kalau beberapa organisasi pemuda yang masih berada dalam payung besar organisasai politik tertentu sering bersinggungan dengan dunia kekerasan. Karena barisan-barisan pemuda tersebut memiliki kelekatan dengan organisasi politik kuat, otomatis mereka mendapat dukungan kuat di dalam bertindak dan seolah-olah memiliki legitimasi. Tidak heran misalnya apabila petugas keamanan sendiri sering kewalahan dan tidak berdaya menghadapinya. Ini yang saya namakan institusionalisasi premanisme. Premanisme menjadi salah satu cara di dalam mencapai tujuan politik (dan ekonomi) yang secara legal dilembagakan.

Parta-partai politik utama sudah seharusnya meninggalkan konsep dwi-fungsi barisan muda. PDIP, Golkar, PKB dan organisasi politik lainnya sudah harus menjauhkan kader mudanya dari unsur kekerasan. Partai politik memiliki arti dan mampu menarik pengikut apabila mampu menawarkan konsep kebijakan yang berguna, inklusif, persuasif dan realistis. Juga bila mampu menghadirkan dan mengembangkan kader-kader yang berkualitas dan memiliki integritas. Apabila kedua hal itu dapat diwujudkan dengan sendirinya masalah suara dan dukungan finansial terhadap kelangsungan partai akan lebih mudah dicapai. Di era reformasi sekarang, bila partai masih mengembangkan dwi-fungsi barisan muda (untuk kader politik dan alat intimidasi) partai politik tidak lain menggali kubur sendiri.

Pemberantasan premanisme juga menuntut peranan proaktif dan sungguh-sungguh dari pemerintah dengan peningkatan kuantitas dan kualitas kerja kepolisian dan aparat keamanan lainnya. Juga mengharuskan lembaga peradilan untuk lebih independen dari pengaruh money and power. Keduanya adalah perlu tetapi tidak cukup. Dan keduanya memerlukan political will yang kuat dari pemerintah.

Sangat besar dugaan bahwa gaya premanisme yang menyerang kantor majalah Tempo tidak ada kaitannya dengan partai manapun. Tetapi dengan persiapan dan pelaksanaan pemilu tahun 2004 yang besar kemungkinan akan berlangsung ketat dan mungkin panas, partai-partai politik harus serius menjauhkan barisan mudanya dari kekerasan dan potensi premanisme.

KASUS:

Pelbagai instansi di Indonesia dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang "premanisme", pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja. Siang pertengahan pekan ini Kompas mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional di Bogor. Saat itu masih jam kerja, sekitar pukul 14.30, tetapi sejumlah loket pelayanan, seperti bagian informasi, sudah kosong ditinggalkan petugas.

Sejumlah petugas lain terlihat tidak peduli. Setelah ditanya, baru mereka menjawab seperlunya- khas di kantor pemerintah membuat masyarakat dalam posisi membutuhkan dan menunduk terhadap mereka seperti perlakuan pegawai kompeni kepada rakyat Hindia Belanda."Jam begini sudah mau tutup. Besok saja datang lagi," kata seorang pegawai tanpa beranjak dari tempat duduk tempat dia mengobrol bersama dua teman sekantor.

Setelah memaksakan diri bertanya sekali lagi, pertanyaan itu akhirnya dijawab pegawai tersebut dan Kompas diminta pergi ke sebuah ruangan untuk menemui petugas yang mengurus peningkatan hak atas tanah. Setelah menjelaskan prosedur, petugas itu mengatakan, secara teori proses tersebut selesai dalam 14 hari. Beberapa waktu lalu Kompas yang tidak memperkenalkan diri sebagai wartawan sempat ditolak mentah-mentah saat menanyakan status sebidang tanah. Serba sulit dan birokratis, tetapi berujung pada tawaran: mau dibantu?. Selanjutnya petugas Badan Pertanahan Nasional itu menyuruh kembali esok hari untuk mengurus karena menjelang pukul 15.00 kantor sudah akan tutup. Jauh lebih cepat dibandingkan dengan kantor swasta di Jabotabek yang umumnya tutup pukul 17.00 dan sering kali lembur hingga larut malam. Meski dibantu orang dalam, tidak berarti persoalan selesai sesuai dengan harapan. Pengalaman Ny Sri, seorang warga Bogor, beberapa waktu lalu, mengurus peningkatan hak menghabiskan waktu selama berbulan-bulan, mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah dan berakhir dengan kekecewaan. Status tanah satu-satunya tempat tinggal keluarganya justru turun dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai.

Kerja santai dan pulang cepat serta mempersulit urusan adalah gambaran singkat kinerja pegawai negeri. Pekan lalu Kompas saat berkeliling di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, juga mendapati kondisi serupa. Sekitar pukul 13.00 dan pukul 14.00 kantor pemerintah sudah banyak yang kosong.

Demikian pula di Kalimantan Timur yang kaya-raya, pegawai masuk kantor terlambat dan pulang cepat merupakan hal biasa, seperti terlihat di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut para pelaku usaha, dunia preman dan birokrasi di Indonesia hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas! Kata preman yang berarti perampok, penodong, dan pemeras dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga sejalan betul dengan kinerja "oknum" di pelbagai jajaran birokrasi Indonesia. Peras-memeras untuk mengurus pelbagai izin dari tingkat kelurahan hingga pusat telah membuat ekonomi Indonesia terus melambat. Alih-alih menjadi fasilitator, oknum pemerintah justru menghambat kinerja perekonomian nasional.

Zakaria, seorang pemilik mal di Jakarta, mengaku pihak pengelola telah mengeluarkan uang Rp 1,6 miliar beberapa tahun lalu untuk membiayai aparat DKI menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar yang menutup akses kompleks tersebut. Memang, suasana sempat tertib untuk dua minggu saja. Sesudah itu PKL dan parkir liar kembali tumpah ruah. Sebab, mereka telah membayar setoran kepada oknum aparat dan preman setempat yang bahu-membahu menguasai lahan publik, seperti jalan raya dan trotoar. "Para PKL membayar uang bulanan dan uang harian kepada oknum aparat besarnya bervariasi, Rp 1.000 hingga Rp 2.000 setiap hari. Ini sudah praktik tahu sama tahu dan pengusaha yang berusaha secara sah justru dirugikan.

Di sektor industri tidak ketinggalan pengalaman pahit dialami Yohan-juga bukan nama asli-pengusaha pabrik sepeda motor di Jawa Tengah yang telah menjadi bulan-bulanan birokrasi. Sejak awal bermaksud mendirikan pabrik, oknum lurah setempat langsung mematok biaya sekian puluh juta rupiah! "Bahkan dia minta jatah memasukkan pegawai termasuk anaknya. Belum lagi rongrongan dari pajak dan Bea Cukai turut menyusahkan kami. Bayar pajak secara benar sesuai aturan justru disalahkan petugas. Kami pun harus membuat dua bahkan tiga atau empat pembukuan sesuai anjuran mereka. Seharusnya kami mendapat perlakuan khusus dan kemudahan dengan melihat industri motor ini menghasilkan devisa bagi negara karena diekspor ke sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah," kata Yohan. Itulah realitas hidup di Indonesia, orang kecil dan dunia usaha harus pasrah dan menjadi pelayan setia keinginan oknum birokrat yang ternyata ada di mana-mana.

Bahkan di tingkat profesi sederhana seperti sopir angkutan kota (angkot) pun tak luput dari jeratan kepentingan birokrasi. Asep, seorang pengemudi angkot di Bogor, mengatakan, kemacetan lalu lintas di Kota Bogor disebabkan pemberian izin trayek secara bebas oleh instansi terkait. "Sering kali satu surat trayek dipakai untuk tiga atau empat angkot. Otomatis jalanan bertambah macet. Pengemudi merugi, tetapi oknum aparat tidak mau tahu dan terus menikmati pendapatan dari perizinan serta bisnis angkot di Bogor.

KASUS:

Premanisme dalam ritual Bali? Apa pula itu? Bukan bermaksud melebih-lebihkan atau membuat sesuatu menjadi kelihatan ekstrem. Namun fenomena yang saya alami dan amati ini rasanya cukup layak dimasukkan dalam dunia premanisme walaupun dibungkus dengan apik dalam balutan ritual dan budaya yang katanya adi luhung orang Bali. Anda yang tinggal di Bali tentu pernah atau bahkan sering mengalami bagaimana kalau orang Bali melakukan kegiatan ritual agama dan budaya khususnya yang mengambil tempat (secara seenaknya) di jalan-jalan raya kota maupun desa.

Jika balai banjar/pura tempat diadakannya upacara berada tepat disamping jalan raya maka dapat dipastikan jalan raya tersebut akan ditutup, paling tidak ditutup satu jalur. Bisa dipastikan akan ada kemacetan, belum lagi beberapa pengguna jalan raya yang kebingungan akibat pengalihan jalan yang masih asing bagi mereka. Walaupun ijin sudah dikantongi tetap saja itu namanya mengganggu kepentingan umum. Tapi kita orang Bali punya sebuah excuse yang cukup ampuh dan sombong, ini kan atas nama agama dan budaya. Jalan ini ada di daerah kekuasaan desa adat A jadi kami berhak memakai jalan ini.

Yang lebih parah adalah kegiatan2 upacara agama/adat yang dilakukan di jalan raya alias ada prosesi yang menempuh rute tertentu misalnya dari pura A menuju ke pantai. Bisa dipastikan mental premanisme akan merajalela. Jalan raya akan digunakan dua jalur dan pengguna lain tidak boleh menyalip, jika datang dari arah berlawanan maka pengendara lain harus menepi total dan berhenti. Pernahkah Anda terjebak dalam antrean panjang karena prosesi ritual di Bali. Hal yang saya tidak mengerti mengapa orang Bali yang sedang punya gawe itu seakan begitu bangga dan angkuh, seolah-olah jalan raya tersebut adalah milik mereka sendiri. Ditambah pula dengan mengacung-acungkan umbul-umbul upacara ke arah pengendara lain sebagai tanda pada kita untuk berhenti. Harusnya mereka sopan dan mengambil jalan satu arah saja tidak merasa menjadi raja jalanan hanya karena tameng ritual agama dan budaya.

Satu dua kali mungkin masih bisa ditoleransi, orang Bali punya ritual agama dan budaya ribuan kali dan setiap hari. Ini kan parah. Apa mau jadi preman jalanan tiap hari? Bagaimana misalnya kalau saat itu ada orang sakit yang ingin lewat? Atau ada orang yang mau melahirkan dan harus segera ke rumah sakit? Lalu apa bedanya budaya dan mafia. Ini beberapa tips jika misalnya suatu saat terjebak macet karena ritual orang Bali:

1. Jika dari arah yang sama, jangan sesekali menyalip walaupun keadaan memungkinkan kecuali jika ada tanda-tanda atau aba-aba yang jelas dari salah satu ‘preman’ dalam kelompok itu, biasanya mereka ini pakai motor dengan membawa umbul-umbul upacara atau pakai mobil jeep terbuka. Jika nekat, siap-siap kena tonjok atau kena damprat. Pelan-pelanlah ikutin dari belakang, bila perlu berhenti saja di warung sambil minum kopi, tunggu sampai mereka lewat.

2. Jika dari arah berlawanan, pastikan berada di pinggir jalan sampai maksimal dan berhenti. Jangan terus jalan walau pelan, kecuali ada aba-aba yang jelas. Jika pakai motor, lebih baik pakai helm cerebong sehingga aman. Jika pakai mobil, tutup kaca mobil rapat-rapat sehingga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan

3. Bila perlu pasang senyum saat berhenti dan mereka lewat tepat disamping kita. Kemungkinan besar mereka dalam ‘preman mode’ sehingga wajah dingin bisa diartikan ‘tidak terima’ oleh mereka.





  1. Premanisme Gaya Globalisasi dan Teknolosi Informasi

Kata orang modern, sekarang kita sudah jaman globalisasi dimana dengan mudah dan praktisnya orang melakukan aktivitasnya. Globalisasi salah satunya ditandai dengan pesatnya dan canggihnya teknologi informasi. Sztelit. Komunikasi dengan Handphon ( HP), maupun internet. Apabila sesorang menjadikan cannginya teknologi inormasi dengn baik maka akan bermanfaat dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan begitu sebalinya akan merugikan orang lain. Dalam kasus berikut ini akan diuraikan mengenai pennyalahgunaan internet sebagai bentuk premanisme.


KASUS:

Karena pembaca blog ini banyak, mungkin malah sebagian besar, cuma teman-teman dan keluarga saya yang tidak ngeblog, baiklah saya ceritakan sedikit tentang gonjang-ganjing di blogosphere Indonesia beberapa pekan terakhir. Saya sebetulnya tak menyimak dengan serius pemberitaan tentang itu. Tapi alkisah, Roy Suryo, yang sering diberi label pakar telematika oleh media, menyebut (kurang lebih) ada banyak blogger negatif (antara lain Enda Nasution dan Priyadi) kemungkinan berada di balik pembobolan situs Depkominfo belum lama ini. Dan konon, kata Roy lagi, hal itu dilakukan karena para blogger tidak setuju dengan rencana pemerintah memblokir situs porno. Serempak, bagai dikomando, banyak blogger marah dan, karena punya blog, meluapkan kemarahan di dalam blog masing-masing. Lalu lebih banyak lagi blogger yang nebeng marah melalui ruang komentar di blog-blog para blogger yang sedang marah itu. Belakangan Roy bahkan ditantang berdialog, sekaligus (dalam versi sejumlah blogger) mempertanggungjawabkan kata-katanya. Roy sudah menyanggupi. Dialog itu bakal berlangsung dalam minggu depan, saya lupa persisnya karena tak tertarik mengikutinya bahkan dari jauh.

Sekilas yang terlihat adalah aksi Roy Suryo telah mengundang gelombang reaksi yang besar dari para blogger. Tapi yang tampak sebagai aksi itu sejatinya juga sekadar reaksi. Persisnya, reaksi dari serangan yang tak henti-hentinya dilakukan sejumlah blogger terhadap Roy selama beberapa bulan, atau mungkin tahun, terakhir. Serangan apa? Secara kasat mata kita bisa mudah menemukan banyak blogger, umumnya karena merasa lebih mengerti soal internet dan teknlogi informasi, terus-menerus mempersoalkan hampir setiap pernyataan Roy di media yang dianggap ngawur, bodoh, dan sebangsanya.

Sayangnya, mungkin yang membuat Roy kemudian menganggap komuntas blogger sebagai musuhnya counter information itu banyak yang melampaui batas: tidak sekadar menyanggah atau mengoreksi pernyataan yang salah, namun juga mengejek bahkan mendiskreditkan pribadi Roy Suryo. Sikap para blogger itu pun sebetulnya juga sekadar reaksi dari pernyataan Roy sebelumnya bahwa blog (dan Friendster) adalah bullshit, pekerjaan orang iseng, tidak ada manfaatnya, dan lain-lain.

Serangan para blogger itulah yang tampaknya membuat Roy belakangan mulai mengidentifikasi dan menyebut nama sejumlah blogger. Anggap saja itu risiko popularitas. Orang terkenal memang lebih gampang diingat dan kemudian menjadi korban salah tuduh. Saya tidak tahu siapa yang memulai, tapi saya melihat aksi-reaksi para blogger itu terus dan akan terus membesar akibat efek bola salju. Kepada Yang Terhormat Ndorokakung saya menyebutnya “sindroma anak ujung gang”.

Mohon maaf kepada teman-teman yang suka kongkow di ujung gang rumahnya, tapi sifat interaktif blog yang memungkinkan pegunjung berkomentar bisa dianalogikan dengan kebiasaan kita memanas-manasi sesama teman kongkow. Suatu ketika ada cowok hendak wakuncar ke rumah gadis tetangga. Seorang anak iseng memalaknya, meminta sebungkus rokok, dan ternyata dituruti si cowok. Teman-temannya bertepuk tangan, memuji keberanian anak itu, hingga membuatnya merasa hebat seperti jagoan dalam komik bacaannya. Selain membuat ia semakin berani — mulai nyolong mangga dari pohon Pak RT, dipuji lagi, lalu menggoda janda kampung sebelah, semakin dipuji, sampai akhirnya nekat mencuri di rumah bapaknya sendiri perbuatan si anak juga kemudian ditiru oleh teman-temannya yang lain. Begitu besarnya bola salju itu sekarang hingga banyak orang luput menangkap esensi persoalannya. Dari kacamata saya — kebetulan 21 tahun menggumuli komunikasi, beberapa tahun terakhir malah tidak punya pekerjaan apa-apa selain mengamati dan mempelajari berbagai pertempuran di segala medan komunikasi serta memikirkan strategi perang untuk merek-merek klien — saya melihat goro-goro ini sesungguhnya sekadar perang informasi belaka. Sebuah perang kecil dan sederhana, yang tentu saja tidak seberat dan serumit perang yang dihadapi banyak merek dalam portfolio saya.

Hanya ada satu doktrin dalam perang informasi: lawanlah informasi dengan informasi (yang lebih bermutu dan menarik). Jadi kalau Roy Suryo memang memberikan informasi yang salah dan menyesatkan, sebarkan saja informasi tandingan yang lebih benar dan mencerahkan. Sesederhana itu. Yang bisa menjadi tidak sederhana nantinya adalah cara atau kreativitas kita dalam mengemas dan menyebarkan informasi tandingan itu. Maka jangan marah atau frustrasi jika informasi tandingan yang kita kemas dan sebarkan ala kadarnya ternyata tidak menimbulkan gaung apa-apa, atau dalam bahasa David Ogilvy: berlalu seperti kapal di tengah malam yang gulita. Karena itulah jasa konsultan komunikasi seperti kantor saya bakal terus dibutuhkan, hahaha.

Perang informasi itu juga mensyaratkan pentingnya mengidentifikasi lawan atau musuh utama yang sesungguhya. Dalam perang ini lawan utama para blogger bukanlah Roy Suryo. Loh? Roy itu kan bukan siapa-siapa, dan tidak punya media apa-apa. Ia jadi terkenal, besar, dan kemudian kontroversial karena pernyataannya terus-menerus dikutip media massa (konvensional). Tanpa itu, siapalah Roy?

Artinya, musuh utama yang sedang dihadapi para blogger sebetulnya justru media massa (konvensional) dengan kekuasaannya yang teramat besar hingga membuat apapun yang mereka siarkan selalu menjadi wacana publik, yang paling benar dan paling bisa dipercaya. Termasuk penyataan-pernyataan Roy Suryo. Karakter media kita yang masih bertumpu pada “jurnalisme ludah” (berita adalah ucapan narasumber, bukan peristiwa yang direportase) tampaknya memang klop dengan karakter Roy Suryo yang menurut mereka terbuka (mau diajak bicara soal apa saja), cerdas (tahu banyak hal), expert (sering menggunakan istilah-istilah teknis), serta berani dan tegas (selalu hitam-putih). Pendeknya, Roy adalah narasumber yang menjanjikan berita yang dibutuhkan: kehangatan, news value tinggi, magnitude besar, dan proximity bagus.

Dengan begitu, dalam perang informasi ini tidak bisa dibilang Roy Suryo setidaknya sampai hari ini — berhasil mengalahkan para blogger, melainkan media massa (konvensional) terus-menerus mengalahkan media blog dengan skor telak. Artinya, yang mesti dipersoalkan bukanlah pernyataan-pernyataan Roy Suryo yang dianggap ngawur, bodoh, dan lain-lain, melainkan mengapa media massa (konvensional) terus-menerus menyiarkan informasi-informasi sepihak dan (kalau benar) menyesatkan. Daripada berdialog dengan Roy, lebih bermanfaat berdialog dengan para reporter, redaktur, bahkan pemimpin redaksi media yang terus-menerus mempercayai Roy sebagai narasumber tunggal dan andalan. Bukankah dialog itu lebih relevan dan selevel, karena menurut Paman Tyo para blogger adalah penerbit, pemimpin redaksi, redaktur, sekaligus reporter bagi medianya, yaitu blog masing-masing. Lebih dari itu semua, sebuah perang, sehebat apapun, tetap harus selalu dilakukan dengan etika yang tinggi. Apapun alasan dan penyebabnya, semua media, termasuk blog, tidak boleh digunakan semena-mena untuk menyerang, mendiskreditkan, menghina, apalagi memaki-maki orang lain.

Mungkin karena kemudahan dan kepraktisanannya banyak blogger lupa bahwa blog, karena disiarkan terbuka dan bisa dibaca oleh siapa pun, sejatinya adalah media massa juga. Dan media massa, karena keluasan eksposure dan kekuatan penetrasinya, amat sangat powerful. Saya sering mengibaratkan media, termasuk blog, seperti pistol, yang jika tidak digunakan dengan sangat berhati-hati bisa melukai dan membunuh orang lain. Layaknya anak kecil bermain-main dengan pistol. Karena dengan pistol di tangannya para blogger bisa mudah tergelincir melakukan premanisme blog, yaitu bersikap seperti preman dengan menggunakan blognya.

Maka, sekali lagi, kalau ada pernyataan Roy Suryo, atau si Polan, atau Si Bedrul, yang dianggap tidak benar oleh para blogger, lawanlah dengan informasi yang lebih benar. Peduli setan urusan pribadinya. Artinya, tetaplah fokus pada kualitas nyanyiannya, bukan tingkah laku penyanyinya.

Tapi kan kita cuma punya blog? Hayah, sudah tahu blog tidak dipercaya kualitas dan kredibilitasnya, malah dipakai buat preman-premanan. Itu justru bakal membuat makin banyak orang makin tidak percaya pada blog. Yang ideal tentu para blogger sendiri mesti memikirkan cara-cara yang lebih strategis dan kreatif untuk meningkatkan kepercayaan orang pada kualitas dan kredibilitas blog. Setidaknya supaya tidak terus-menerus kalah berperang informasi, lalu frustrasi, dan buntut-buntutnya melakukan premanisme blog lagi. Apalagi musuh yang mesti dihadapi, yakni media massa (konvensional), sebetulnya bukan lagi lawan yang terlalu berat. Indikasinya, bukankah rendahnya kualitas dan kredibilitas berita, yang berasal dari narasumber yang rendah kualitas dan kredibilitasnya, sebetulnya mencerminkan rendahnya kualitas dan kredibilitas media yang menyiarkannya

















Seks Di luar Nikah Menunjukkan Pergeseran Nilai Sosial Di Masyarakat Adat Bali

Minggu, 12 Oktober 2008| 3 views | patologi social

email:teman_freud@yahoo.co.id





PEMBAHASAN

Oleh Puguh Arifin

Di beberapa desa adapt bali terdapat norma bahwa mempunyai anak tanpa ikatan perkawinan merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan kotornya lingkungan desa adapt dan warga yang bersangkutan (cuntaka, sebel). Norma ini dapat dilihat pada awing-awing. Desa adapt di Peneng (Baturiti, Tabanan), Bayung Gede (Kintamani, Bangli), dan Sudaji (Sawang, Buleleng).

Di Desa adat, Desa Batur misalnya, pernah terjadi kasus kehamilan pranikah, namun pihakmlaki-lakinya tidak bertanggung jawab dengan alas an belum siap kawin. Penyelesaian dilakukan dengan memaksa si laki-laki untuk melaksanakan perkawinan sesuai dengan awing-awing, yang didahului pemeriksaan terhadap perempuan pasangannya olehpengurus desa adat. Hal ini merupakan proses penanganan oleh perngurus desa adat (prajuru) desa adat. Ketentuan dalam awing-awing yang ditetapkan oleh prajuru. Dari awing-awing ini terlihat adanya variasi reaksi adat, yaitu keharusan bagi yang dihamili untuk mengawini dan apabila keharusan itu tidak diindahkan, yang bersangkutan akan dikenakan denda berupa upacara pembersih desa di tempat suci (pura) serta memelihara anak yang dilahirkan.

Di Desa Adat Penglipuran, penyelesaihan kehamilan pranikah dilakukan dengan proses yang sama seperti desa adapt batur dan dikenal dengan istilah mepelunguhan. Meskipun termasuk daerah pariwisata, desa ini tercatat sebagai desa yang warganya tergolong jarang mengalami kehamilan pranikah. Menurut ketentuan hokum adat, perempuan yang dihamili ketika belum menikah tidak diperkenalkan memasuki tempat suci sampai upacara pernikahan dilangsungkan.

Desa Adat Kuta, pusat pariwisata kabupaten Badung, yang lebih dikenal heterogen dibandingkan denag dua desa lainnya, mengatur sanksi kasus kehamilan pranikah dengan lebih rinci dan tegas. Sejumlah 13 banjar adapt yang merupakan wilayah kekuasan Desa Adat Kuta mempunyai waga dengan kasus yang sama. Menanganinya, kelian (ketua) adapt kuta “ pawos 59 awing-awing desa adat”.

Dari ketiga desa tersebut yang pernah diteliti, hanya desa adat batur dan Desa Adat Kuta yang memberikan sanksi hukuman lebih jelas dan rinci dengan mengklasifikasikan peristiwa menjadi dua, yaitu:

  • Apabila sudah diketahui menghamili, lelaki wajib mengawini (nyakapang). Bila tidak dilaksanankan, baru dikenai sanksi.

  • Apabila tidak diketahui siapa laki-laki yang menghamili, keluarga perempuan harus melakukan upacara ngrebu di pura desa dan mengupacarai yang dihamili supaya anak yang lahir tidak mengotori desa (ngeletehin gumi)

Berdasarkan gambaran kasus-kasus kehamilan pranikah tersebut, tampak bahwa masyarakat adapt bali menganggap bahwa hubungan seks pranikah adalah perbuatan tercela dan kotor. Masyarakat memandang perlu diupayakan usaha-usaha pemulihan keseimbangan kosmis yang terganggu dengan jalan melaksanakan upacara pembersihan yang dilakukan didesa setempat. Jadi nilai dasar dari reaksi adapt yang menghukum orang yang melakukan hubungan seks pranikah, bahkan sampai hamil.

Kasus kesusilaan dalam masyarakat Adat Bali disebut delik lokika sanggraha, dimana kasus yang bisa dijerat memenuhi 5 unsur, yaitu ada hubungan cinta, kedua pasangan belum menikah, si laki-laki berjanji menikahi si perempuan, dan apabila si perempuan hamil, namun laki-laki ingkar janji atau tidak bersedia, Sanksi terhadap lokika sanggraha sangat tergantung pada perilakunya. Jika si laki-laki tidak menikahi perempuan, maka dua kemungkinan, yaitu dibiarkan saja (anak lahir tanpa ayah) atau dilaporkan polisi. Perempuannya pun tetap dikenai sanksi (pamianda), yaitu dilarang memasuki pura sampai keluarga melaksanakan upacara pembersihan desa.

Hal tersebut pernah dilakuakanditempuh oleh seorang perempuan dan keluarganya. Contoh kasus, Seorang siswi asal gianyar dihamili pacarnya yang sama satu kabupaten. Akan tetapi, keluarga pihak laki-laki tidak mau mengakui perbuatan anaknya meskipun si laki-laki yang menjadi pacar siswi tersebut mengakui perbuatannya dihadapan pengurus adapt dan dua keluarga. Bahkan keluarga laki-laki meminta keluarga perempuan melakukan tes DNA. Padahal, untuk melakukan tes DNA terlebih dahulu ditempuh proses yang rumit dan menunggu bayi lahir. Meskipun untuk menikahkan putrid mereka ditolak mereka melaporka ke polda bali atas bantuan LBH Bali. Sungguhpun diatur dalam delik hukum adapt bali, pada praktiknya jarang digunakan. Umumnya keluarga di Bali sekarang lebih memilih jalan kekeluarggaan, yaitu memaksa sepasang remaja itu untuk segera dinikahkan. Dan inilah yang ditandai sudah ada pergeseran nilai sosial dala masyarakat adat Bali tentang penyakit masyarakat seks bebas dalam pranikah (puguharifin*).


























DAFTAR PUSTAKA







Sukma, Nyoman. 2005. Seks dan Kehamilan Pranikah: Remaja Bali Di dua Dunia. Yogyakarta: Pustaka Studi Dan Kebijakan Universitas Gajah Mada

http://www.balebengong.net/budaya/2008/03/10/premanisme-jalanan-dalam-ritual-bali.html



http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0503/26/Fokus/1642656.htm

http://pakde.com/?p=265


http://www.theindonesianinstitute.org/tpmar1903.htm


http://www.indonesiamedia.com/2004/08/mid/opini/opini-0804-militerisme.htm