psikologi

Minggu, 30 November 2008

napa ia tmn2 gw, yG biasa inspirasi GW skarang dh pd pergi,

GOOD BYE Michelle, kmu YG terbaik bth inspirasiku
ne mb klo mau ambli tes wartegggNa
ne mb klo mau ambli tes wartegggNa

Senin, 03 November 2008

stres kerja sopir taksi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini laju perkembangan jasa bidang transportasi di beberapa negara berkembang sangat pesat baik dalam sektor transportasi darat, udara maupun laut. Sebagai bangsa yang cukup baik sarana transportasinya, bangsa Indonesia saat ini berusaha untuk memajukan dan meningkatkan mutu pelayanan jasa transportasi untuk menghadapi pasar bebas. Perkembangan pada semua bidang jasa transportasi di Indonesia juga diikuti oleh jasa angkutan darat, khususnya disini menyangkut angkutan umum, termasuk jasa angkutan taksi. Adanya perkembangan bisnis transportasi taksi membuat setiap pengusaha jasa angkutan taksi saling berkompetisi secara sehat maupun kurang sehat untuk menjadi yang terdepan dan terbaik yang menyangkut pelayanan dan kenyamanan terhadap konsumen.

Pasar bebas khususnya bidang transportasi memang era dimana setiap perusahaan atau investor asing maupun lokal dapat mengembangkan perusahaan atau menanamkan modal di luar wilayahnya. Tentunya setiap pengembangan perusahaan akan timbul permasalahan, baik dampak positif maupun negatif bagi wilayah yang menjadi proyek pengembangan. Dampak tuntutan di pasar bebas sudah tampak pada bisnis jasa angkutan taksi walaupun masih pada tingkat nasional saja. Bukti ini ditunjukkan dengan masuknya taksi Blue Bird untuk ekspansi pasar ke Semarang. Masuknya jaringan taksi asal Jakarta ini semakin membuat para pengusaha taksi lokal merasa khawatir tidak mampu bersaing dengan Blue Bird yang mampu mengoperasikan ratusan, bahkan ribuan taksi sekaligus (Suara Merdeka: 2007: L).


Masuknya jenis armada taksi baru jelas akan mempengaruhi pendapatan, baik dari pihak pemilik armada taksi maupun sopir taksi. Berkaitan dengan pendapatan, menjadikan para sopir memprotes akan kehadiran taksi baru, seperti kasus protesnya sekitar 40 sopir taksi jenis Tugu Muda asal Semarang. Protes itu berkaitan dengan upaya Bank BPD Jateng dan PT. Wahana Eka Utama melakukan perhitungan terhadap sopir taksi yang menunggak angsuran kendaran lebih dari empat bulan. Protes para sopir disebabkan tidak mampunya membayar angsuran setelah pendapatan mereka menurun, saat persaingan usaha taksi di kota Semarang mulai diramaikan jenis taksi baru (Kurniawan: 2003). Protes sopir taksi yang lain terjadi sekitar 800 taksi dari tujuh perusahaan taksi yang ada di Semarang memblokir Jalan Pemuda Semarang. Mereka menuntut Pemkot Semarang membatalkan izin masuknya perusahaan taksi Blue Bird asal Jakarta ke Semarang. Alasannya, mereka setiap hari merasa gelisah karena saat ini sopir taksi sudah kesulitan untuk mengejar setoran. Menurut mereka penambahan armada baru hanya akan membuat sopir taksi semakin gelisah (Suara Merdeka, 2007: 1).

Sopir taksi sebagai pekerja di lapangan semakin mendapatkan tekanan psikologis dari dua sisi yang berbeda. Sisi pertama, di lapangan sopir taksi memiliki berbagai masalah selama mengoperasikan armada misalnya, menghadapi komplain dari konsumen, persaingan tidak sehat tentang besarnya tarif taksi antar taksi lain hingga mempunyai masalah dengan kondisi rusaknya armada yang dikendarainya. Sisi kedua, berupa tambahan tekanan psikologis dari dampak kondisi pasca naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dan perusahaan ikut juga menerapkan peraturan yang ketat demi menyelamatkan perusahan dari dampak kondisi krisis.

Kondisi krisis yang begitu panjang dan sangat memperhatinkan ini juga dirasakan oleh semua bidang usaha, termasuk dengan bisnis jasa angkutan taksi. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi pada akhir bulan Mei 2008 dan kenaikan harga onderdil kendaraan menjadikan tarif taksi juga mengalami kenaikan harga. Alasan diberlakukannya kenaikan tarif taksi oleh perusahaan karena belum dapat menutupi biaya operasional kendaraan. Pemilik taksi terpaksa menerapkan peraturan yang ketat agar dapat menekan biaya operasional, ditambah lagi tidak mampunya perusahaan untuk memberikan kenaikan gaji kepada pekerjanya. Kondisi tersebut sangat menekan para sopir taksi.

Adanya kompetisi antar pengelola taksi menyebabkan setiap perusahaan memperketat peraturan agar tetap bertahan dan tidak mengalami kebangkrutan. Tidak hanya masalah kompetisi antar pengelola taksi saja, dampak kondisi krisis yang terjadi juga menyebabkan naiknya suku cadang, bahan bakar, dan biaya perawatan sehari-hari sehingga menyebabkan para pemilik usaha taksi mengalami kesulitan untuk menaikkan gaji sesuai kondisi krisis yang terjadi. Pendapatan yang diperoleh sopir taksi berdasarkan setoran yang telah ditetapkan perusahaan dikenal dengan premi, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keadaan krisis juga memaksa pemilik armada tersebut untuk memperketat peraturan dan menekan biaya pengeluaran agar usaha yang mereka jalankan tidak mengalami kebangkrutan.

Berdasarkan wawancara pada sopir taksi Semarang yang pernah dilakukan Mulia (Suara Merdeka: 2007) menjadi sopir taksi sekarang memang rawan mengalami stres, alasannya untuk mengejar setoran setiap harinya harus bekerja keras hingga larut malam. Rata-rata para sopir taksi keberatan dengan hadirnya taksi baru, mengingat kondisi pendapatannya saat ini sudah mengkhawatirkan, karena untuk setoran setiap harinya saja para sopir taksi harus berhutang kepada perusahaan. Dijelaskan rincian mengenai setoran bervariasi antara Rp.170.000 hingga Rp.200.000. Apabila sopir taksi ingin mendapatkan keuntungan, sehari harus bisa mendapatkan pemasukan antara Rp.350.000 hingga Rp.400.000. Jumlah tersebut dipotong untuk setoran sebesar Rp.200.000 dan membeli bensin Rp.120.000. Apabila dalam sehari seorang sopir taksi hanya mendapatkan hasil kotor sebesar Rp.200.000. Maka dapat disimpulkan, pendapatan setoran lebih kecil daripada biaya untuk menyetor ke perusahaan dan biaya bensin. Paparan tersebut merupakan kondisi stres kerja pada sopir taksi yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan mengenai jumlah setoran yang harus dibayarkan. Masalah setoran juga dapat menimbulkan adanya kecenderungan stres kerja pada sopir taksi yaitu reaksi emosional yang terganggu. Kecenderungan reaksi emosional muncul sewaktu berhadapan dengan perusahaan dalam memberikan setoran yang harus diberikan. Hal ini terjadi apabila setoran sehari tidak memenuhi target dan pihak perusahaan tidak memberikan toleransi terhadap ketetapan uang setoran yang harus disetorkan. Dari gambaran peristiwa tersebut ada kecenderungan sopir taksi mengalami stres kerja didalam kompleksitas masalah mendapatkan setoran seharian. Awal timbulnya stres atau yang lebih tepatnya disebut sebagai gejala stres kerja. Diahsari (201: 363) mengklasifikasikan ada 3 gejala stres kerja diantaranya gejala psikologis, gejala fisiologis, gejala perilaku.

Gejala psikologis, stres kerja timbul melalui kondisi psikis seperti kecemasan, perasaan frustrasi, emosi, perasaan tertekan, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi.

Gejala fisiologis diantaranya dapat menimbulnya gangguan perut (sakit maag), kelelahan fisik, timbulnya masalah respirasi atau keringat berlebihan dan gangguan tidur. Stres menimbulkan gangguan sakit perut memang ada kaitannya. Stres merupakan faktor utama yang bisa menyebabkan terjadinya gangguan kejiwaan yang pada akhirnya dapat mengganggu fisik seseorang. Berbagai gangguan sistem organ bisa terjadi akibat adanya faktor stres tersebut. Berbagai keluhan yang didapat saat seseorang mengalami stres antara lain sakit kepala berupa pusing, tangan gemetar, sakit leher, nyeri punggung dan otot terasa kaku, gangguan masalah respirasi berupa banyak keringat terutama pada ujung-ujung tangan dan kaki, selain itu ujung-ujung tangan dan kaki terasa dingin, nyeri dada, nyeri pada ulu hati, mual, perut kembung. Stres sangat berhubungan erat dengan terjadinya gangguan pencernaan baik pencernaan saluran cerna atas maupun bawah. Gangguan saluran atas yang sering ditemui adalah maag. Berbagai penelitian memang telah membuktikan hubungan antara sakit maag fungsional dengan faktor stres yang dialami seseorang terutama faktor kecemasan. Penelitian yang pernah dilakukan di luar negeri menunjukkan bahwa sakit maag yang fungsional lebih besar dari sakit maag yang organik yaitu mencapai 70-80 % kasus sakit maag. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian sakit besar pasien dengan keluahan sakit maag fungsional atau sakit maag itu tejadi disebabkan oleh faktor psikis ( Syam, 2007: 2).

Gejala perilaku, stres kerja timbul melalui kondisi perilaku seperti, bermalas-malasan dalam bekerja, kinerja dan produktivitas menurun, melakukan sabotase pada pekerjaan, hubungan tidak harmonis dengan teman sebaya, agresif dan brutal, meningkatnya perilaku beresiko.

Uraian mengenai gejala-gejala stres kerja tersebut baik psikologis, fisiologis, maupun perilaku menunjukkan bahwa stres kerja bersifat individual. Artinya, penyebab stres kerja sangat tergantung pada respon individu seseorang karyawan atau anggota organisasi terhadap perangsang dari lingkungannya, misalnya seperti tekanan atasan, masalah keluarga, kondisi kerja dan lainnya. Lebih tepatnya sumber sebagai penyebab stres kerja yang bersiat komplek adalah hubungan antara faktor-faktor intern individu dan faktor-faktor ekstern atau lingkungan sekitar berupa stimulus, yang ditanggapi secara tidak tepat.

Pada kehidupan sehari-hari banyak sopir taksi berbuat curang terhadap tarif argo pembayaran, alasannya untuk meningkatkan setoran. Keadaan ini mereka lakukan sebagai perwujudan keinginan meningkatkan setoran. Alternatif lain yang sering ditempuh seorang sopir taksi untuk mengejar setoran adalah dengan cara kebut-kebutan untuk berebut penumpang dengan sopir taksi lain, menunggu konsumen dengan posisi duduk yang lama, Kondisi tersebut jelas melelahkan karena sopir taksi harus waspada dan berada dalam kondisi siap, lelah karena setiap waktu mengendarai mobil dengan posisi duduk yang cukup lama, lelah karena kurang istirahat bagi seorang sopir taksi yang beroperasi siang hari maupun kurang tidur bagi sopir taksi yang beroperasi malam hari. Gambaran seperti ini menjadikan sopir taksi rentan mengalami stres. Kaitannya dengan penelitian tentang sopir taksi ( Risdian : 2007) bahwa duduk dalam jangka waktu yang lama beresiko menimbulkan penggumpalan didalam darah atau dikenal dengan penyakit Deep Vein Thrombosis (DVT). Sebuah penelitian di New Zealand mempelajari 62 orang yang menderita penyakit penggumpalan darah atau DVT, termasuk sopir taksi, pekerja IT, dan manajer, 34% diantara kasus tersebut disebabkan karena terlalu lama duduk selama 3 jam tanpa berdiri selama sehari. Pekerja IT (programmer, system analyst) dan sopir taksi bisa duduk selama berjam-jam tanpa berdiri akibat pekerjaan. Tertutupnya aliran darah akibat penggumpalan bisa menyebabkan pembengkakkan serta rasa sakit dibagian tubuh tertentu (pegal disekitar leher, punggung, tangan) dan hipertensi.

Stres yang terjadi pada sopir taksi juga dapat disebabkan oleh beban tanggung jawab menanggung keselamatan penumpang (Smet, 1994: 117-118). Diperkuat lagi dengan UU Lalu Lintas no. 14 tahun 1992 pasal 31, yang menjelaskan bila sopir mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sehingga menyebabkan kecelakaan yang dapat membahayakan nyawa penumpang dapat dikenakan sanksi enam bulan kurungan atau membayar denda maksimal enam juta rupiah (Palandeng, 1993:134).

Banyak hal yang menjadi faktor pengaruh bagi stres kerja Diahsari (2001: 367) menyatakan bahwa salah satu yang menjadi faktor stres kerja adalah menyangkut gaya kepemimpinan. Dijabarkan lagi, gaya kepemimpinan yang mempengaruhinya adalah gaya kepemimpinan otokrasi. Gaya otokrasi yang kurang menghargai pendapat bawahan dapat menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan. Kerja penuh tekanan dapat mengakibatkan seseorang mudah mengalami stres. Seorang pimpinan yang suka memerintah dan memaksakan pegawai untuk menuruti apa yang dimaunya, serta tidak mau dikritik dan berkuasa penuh, merupakan ciri yang terdapat dalam gaya kepemimpinan otokrasi. Teori diatas diperkuat oleh Safaria dan Rahardi (2004: 53) bahwa stres biasanaya muncul pada situasi-situasi yang kompleks, menuntut sesuatu di luar kemampuan individu dan munculnya pada situasi yang tidak jelas. Dalam setting pekerjaan biasanya stres timbul dari kebijakan atasan yang otoriter.

Menurut Nawawi (1998: 86-87) kepemimpinan yang otokrasi berorientasi pada hasil yang dicapai dalam rangka mewujudkan tujuannya, dengan tidak sekedar memerintah, tetapi juga berusaha memberikan motivasi agar tumbuh kesediaan melaksanakan perintahnya, pemimpin berorientasi pada tugas secara efektif dan efesien, agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal, pemimpin menuntut ketaatan dan kepatuhan, dengan membuat dan menetapkan peraturan-peraturan dan mengawasi pelaksanaannya, pemimpin kurang yakin pada diri sendiri, sehingga memiliki kecenderungan lebih memanfaatkan orang lain untuk menangani keputusannya, daripada mengalami kesalahan bila ditanganinya sendiri. Kesalahan mudah ditimpakan pada orang lain dan bukan karena kekeliruan keputusan atau intruksinya sebagai pemimpin.

Peneliti mengambil faktor gaya kepemmpinan otokrasi sebagai salah satu faktor yang akan diteliti karena gaya kepemimpinan otokrasi sering diterapkan dalam usaha-usaha angkutan, terutama angkutan penumpang, salah satunya adalah angkutan jenis taksi. Di dalam perusahaan, pemilik angkutan taksi menuntut agar sopir taksi mencapai target setoran yang sudah ditetapkan, mendapatkan jumlah setoran sebesarr-besarnya seharian, bekerja padahal pemilik perusahaan kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan sopir taksi. Sopir taksi juga diharuskan menyelesaikan sendiri masalah tilang yang mereka hadapi atau membiarkan sopir taksi membawa taksi yang rusak ke bengkel tanpa harus melapor pada atasan, peraturan tata tertib berpakaian benar-benar tidak boleh dilanggar (berambut panjang, seragam harus dimasukkan, bersepatu hitam dan lainnya) Aturan-aturan seperti ini meman harus ditaati apabila dilanggar mendapatkan teguran hingga sanksi. Gambaran perilaku tersebut merupakan cerminan gaya kepemimpinan yang dkemukakkan oleh Nawawi (1998 : 86-87) bahwa kepemimpinan otokrasi berorientasi pada hasil yang dicapai dalam rangka mewujudkan tujuannya. Pemimpin seperti ini memandang produk (hasil) yang dicapai dan apa yang dikerjakan merupakan ukuran prestasi. Cara mencapai hasil dan apa yang dikerjakan untuk mencapai hasil yang kuantitas dan kualitasnya sesuai dengan keinginan tidak perlu dipersoalkan, singkatnya yang penting adalah hasilnya bukan prosesnya. Pemimpin juga menuntut ketaatan dan kepatuhan, dengan membuat dan menetapkan peraturan-peraturan dan mengawasi pelaksanaannya.

Struktur organisasi dalam bisnis taksi yang memegang kepemimpinan yang tertinggi adalah pemilik taksi, dimana memiliki tanggung jawab yang besar untuk dapat mengorganisir tuntutan-tuntutan yang timbul dari dalam maupun luar lingkungan organisasi. Pemilik taksi memiliki wewenang membuat peraturan dan menentapkan kebijakkan kapada para karyawannya agar bisnis usaha berkembang lebih maju. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti di salah satu perusahaan taksi di Semarang, sopir taksi mengakui bahwa pemilik perusahaan angkutan taksi selama ini menuntut karyawannya untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Misalnya, setoran harus dibayarkan sesuai ketentuan dan apabila setoran tidak menutupi dibebankan pada sopirnya, saat melayani konsumen sopir harus berpenampilah rapi dan bersih (rambut harus pendek, seragam kantor harus dimasukkan, harus memakai sepatu hitam dan lain-lain). Apabila sopir tidak mau menurutinya maka sopir taksi dikenai sanksi hingga diperbolehkan keluar dari perusahaan.

Adanya pemilik taksi yang kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan sopir taksi dapat menyebabkan banyak persepsi negatif pada atasan. Ada kecenderungan tidak dipenuhinya kesejahteraan sebagai tuntutan pada sopir taksi akan menimbulkan persepsi dan tingkah laku yang negatif, serta merupakan salah satu faktor munculnya stres kerja pada sopir taksi.

Reaksi persepsi terhadap stres pada satu orang dengan orang lain belum tentu sama. Sopir taksi yang satu dengan yang lain mempersepsikan tentang kepemimpinan otokrasi berbeda-beda. Ada sopir taksi yang mempersepsikan kepemimpinan otokrasi atasan sebagai sebuah kedisiplinan yang harus dilaksanakan dan dipenuhi, Jadi ada kemungkinan besar punya persepsi yang positif terhadap pimpinannya sedangkan ada sopir taksi lain menilai kepemimpinan otokrasi adalah sesuatu yang membuat penuh tekanan dalam bekerja. Kecenderungan yang terjadi, atasan memperlakukan bawahan sangat konservatif, kaku, tanpa memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan para karyawan sehingga mudah muncul stres. Pendapat tersebut dipertegas oleh Anoraga (2004: 83) yang menjelaskan tentang gaya otokrasi yaitu kepemimpinan berdasarkan atas kekuasan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal pada a one-man show. segala keputusan berbeda-beda dari satu tangan. Gaya kepemimpinan ini sering membuat pengikutnya tidak senang dan sering frustrasi.

Dari berbagai penelitian mengenai tipe kepemimpinan bagaimana yang sesuai dalam mengembangkan organisasi, sebenarnya belum diketahui secara pasti, karena masing-masing tipe kepemimpinan mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Akan tetapi, ada asumsi bahwa tipe kepemimpinan yang efektif adalah yang tidak hanya mementingkan tugas-tugas yang harus diselesaikan saja tetapi juga memperhatikan hubungan antara pimpinan dengan karyawannya, serta situasi yang sedang berlangsung(siapa. . . ) . Dewasa ini tipe otokrasi masih dirasakan dipakai, sebagai contoh sistem kepemimpinan di perusahaan taksi. Dimana, tuntutan terhadap jumlah setoran harus diberikan sesuai dengan standar ketentuan perusahaan. Tuntutan tuntPada saat wawancara di emam

Berdasarkan uraian tersebut, timbul permasalahan apakah timbulnya stres kerja pada sopir taksi berkaitan dengan persepsi gaya kepemimpinan otokrasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang hubungan stres kerja pada sopir taksi dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi.

B. Perumusan Masalah

Setiap pimpinan perusahaan taksi biasanya memiliki aturan tertentu, ada yang menerapkan sistem yang berpola mementingkan pelaksanaan tugas, dimana bila setiap sopir taksi melaksanakan tugas-tugasnya pasti akan dicapai hasil yang diharapkan, ada yang menerapkan sistem mementingkan pelaksanaan hubungan kerja sama, dimana setiap sopir taksi harus kerja sama dalam melaksanakan tugasnya masing-masing demi tujuan bersama juga, serta sistem kerja yang menuntut ketaatan dan kepatuhan yang ketat. Didapatkan apabila perusahaan taksi yang menerapkan peraturan yang ketat, kondisi demikian akan menyebabkan para sopir taksi kerja penuh tekanan. Perusahaan mempunyai alasan bahwa menerapkan peraturan yang ketat memiliki tujuan agar sopir taksi bekerja secara disiplin dan profesional dalam menghadapi persaingan pasar bebas. Apabila sopir taksi sering berhadapan dengan berbagai situasi yang menekan, seperti penentuan jumlah setoran yang tinggi, ketaatan peraturan yang ditetapkan lebih tinggi dan masalah sehari-hari yang dapat memicu munculnya banyak ketegangan dalam diri sopir taksi akan menjadikan semakin tertekan dengan adanya peraturan ketat dari perusahan. Tekanan pada pekerjaan yang terus menerus akan mempengaruhi reaksi emosional maupun fisiologis yang dialami sopir taksi.

Banyaknya tuntutan perusahaan yang harus dipenuhi sopir taksi membuat mereka merasa tertekan dan tidak mencapai keseimbangan antara tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhinya dengan keadaan dirinya, sehingga sopir taksi akan mengalami stres dalam pekerjaan. Stres yang berkepanjangan secara tidak langsung dapat menimbulkan gangguan pada fungsi jiwanya, kecemasan, kesedihan, sakit hati, dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan mental maupun disintegrasi kepribadian. Sopir taksi yang tidak dapat menemukan mekanisme untuk melepaskan ketegangan cenderung menjadi mudah teganggu emosinya, mudah marah, dan tidak dapat menyesuaikan diri. Kondisi perusahaan selalu menekan menyebabkan kekacauan emosi pada sopir taksi, jelas akan mempunyai persepsi terhadap pemimpin mereka yang hanya memikirkan kemajuan perusahaan saja tanpa mempedulikan kesejahteraan bawahannya, Sopir taksi kondisinya semakin mudah mengalami tekanan secara fisik maupun emosional dalam melakukan dan mentaati peraturan tersebut atau lebih dikenal sebagai stres kerja.

Berdasarkan uraian tersebut timbul permasalahan apakah ada hubungan antara stres kerja pada sopir taksi dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja pada sopir taksi ditinjau dari persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti di bidang Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Kesehatan khususnya mengenai stres kerja pada sopir taksi dan persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi. Selain itu dapat memperkaya penelitian di bidang Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Kesehatan dan hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut untuk kemajuan pengetahuan-pengetahuan pada umumnya serta penelitian lain.

2. Manfaat praktis

a. Sopir taksi

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi pada sopir taksi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk dapat menyesuaikan stres kerja terhadap gaya kepemimpinan seorang atasan tempat dimana bekerja serta untuk mengontrol dan meminimalkan tingkat stres dengan cara mengubah persepsi yang lebih positif dalam kaitan dengan gaya kepemimpinan otokrasi.

b. Perusahaan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi pada pemilik perusahaan sopir taksi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk dapat menerapkan sistem peraturan kerja yang tidak banyak menimbulkan tekanan psikologis pada sopir taksi, sehingga sopir taksi dapat bekerja lebih baik demi meningkatkan profesionalisme dalam bekerja.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Kerja Pada Sopir Taksi

1. Pengertian stres kerja pada sopir taksi

Stres merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan dalam hidup manusia. Setiap manusia pernah mengalami kondisi stres. Stres dalam setting pekerjaan juga pernah dialami siapa saja mulai dari atasan sampai bawahan ketika melakukan tugas-tugas kerja. Stres pada setiap orang tidak sama, termasuk kadar berat ringan yang berbeda dan dalam jangka panjang-pendek yang tidak sama pernah atau akan mengalaminya. Stres sendiri merupakan pengalaman hidup yang rumit dan kompleks karena dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Stres didefinisikan oleh Safarino (dalam Smet, 1994: 112) suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara invividu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yangberasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang.

Stres oleh Safaria dan Rahardi (2004: 52) didefinisikan sebagai keseluruhan proses yang meliputi stimulasi, kejadian, peristiwa dan respon, interpretasi individu yang menyebabkan timbulnya ketegangan yang di luar kemampuan individu untuk mengatasinya, Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa stres mencakup dua hal yang saling terkait, yaitu stimulasi, peristiwa, kondisi, kejadian yang menimbulkan ketegangan yang biasa disebut sebagai stressor dan kedua merupakan respons dan interpretasi individu. Jadi setiap orang akan berbeda dalam merespons stres terhadap ketegangan.

Pernyataan tersebut didukung oleh Hardjana (2002: 14) yang menjelaskan bahwa stres adalah keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi orang yang mengalami stres atau sesuatu kondisi yang dianggap mendatangkan stres membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang ada pada individu tersebut

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1995: 428) mendefinisikan kerja adalah sesuatu yang dilakukan dengan mencari nafkah dan bisa juga sebagai mata pencaharian

Menurut Franser (dikutip Anoraga, 1998: 112-113) Stres kerja timbul karena adanya perubahan dalam keseimbangan sebuah kompleksitas antara manusia, mesin, dan lingkungan. Franser menambahkan bawwa ada dua macam pekerjaan yang sering menimbulkan stres, yaitu pekerjaan yang menuntut keadaan fisik (pekerjaan dengan otot) dan pekerjaan yang menuntut ketrampilan atau kemahiran (pekerjaan dengan kertrampilan). Salah satu pekerjaan tersebut adalah berprofesi sebagai sopit taksi, karena ketrampilan dalam menyetir sangat dibutuhkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2004: 243) sopir adalah pengemudi mobil, sedangakan sopir taksi memiliki arti orang yang mengemudikan mobil dengan jenis armada taksi.

Definisi yang cukup jelas dirangkum oleh Beehr dan Newman (dalam Diahsari, 2001: 363) menyatakan bahwa stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja yang mengubah fungsi fisik maupun psikis yang normal. Definisi tersebut menunjukkan bahwa stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan karyawan.

Anoraga (2001: 108) berpendapat bahwa secara sederhana stres kerja sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungan kerjanya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan seseorang terancam (fight or flight response).

Pendapat lain dari shuler (dalam Nawawi, 2003: 343) mnagatakan stres kerja adalah suatu keadaan dimana faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan saling mempengaruhi dan mengubah keadaan psikologis atau fisiologis individu (anggota organisasi atau karyawan).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres kerja pada sopir taksi adalah respon sopir taksi terhadap suatu tuntutan atau tekanan dari kondisi kerja dari pekerjaan yang mengancam individu, Individu dengan lingkungan kerjanya yang tidak dapat lagi diimbangi oleh kemampuan karyawan, sehingga membuatnya menimbulkan gangguan baik secara fisik maupun mental terhadap suatu tuntutan dan tekanan di lingkungan kerjanya.

2. Aspek-aspek stres kerja

Menurut Newman dan Cooper (dalam Diahsari, 2001: 363) aspek-aspek stres kerja antara lain:

a. Aspek gejala fisik, seberapa sering sopir taksi mengalami stres kerja yang ditimbulkan melalui kondisi fisik. seperti, timbulnya gangguan perut, kelelahan fisik, timbulnya masalah respirasi, keringat berlebihan, gangguan tidur.

b. Aspek gejala psikis, seberapa sering sopir taksi mengalami stres kerja yang ditimbulkan melalui kondisi psikis, seperti kecemasan, perasaan frustrasi, emosi, perasaan tertekan, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi.

c. Aspek gejala perilaku, seberapa sering sopir taksi mengalami stres kerja yang ditimbulkan melalui kondisi perilaku seperti, bermalas-malasan dalam bekerja, kinerja dan produktivitas menurun, melakukan sabotase pada pekerjaan, hubungan tidak harmonis dengan teman sebaya, agresif atau brutal, dan meningkatnya perilaku beresiko.

Anoraga (2005: 110) berpendapat stres kerja dapat diketahui dari gejala-gejala sebagai berikut:

a. Gejala fisik, seperti sakit kepala (pusing), sakit maag, mudah kaget, banyaknya keluar keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu letih, kaku leher sampai ke pungung.

b. Gejala emosional, seperti pelupa, sulit untuk berkonsentrasi, cemas, mudah marah, gelisah, putus asa, sukar mengambil keputusan, dan mimpi-mimpi buruk.

c. Gejala sosial, seperti makin banyak merokok, banyak minuman, banyak makanan, menarik diri dari pergaulan sosial dan mudah bertengkar.

Hardjana (2002: 24) menyatakan bahwa ada 4 ( empat ) gejala stres kerja yaitu:

a. Gejala emosional seperti gelisah, sedih, mudah marah, gugup.

b. Gejala intelektual seperti susah berkonsentrasi, mudah lupa, pikiran kacau atau produktivitas maupun prestasi menurun.

c. Gejala fisik seperti sakit kepala, maag, tidur tidak teratur, tekanan darah meninggi.

d. Gejala interpersonal seperti kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, mudah membatalkan janji.

Berdasarkan pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala stres kerja meliputi banyak hal yaitu gejala fisik, gejala emosional, gejala perilaku, gejala intelektual, maupun gejala interpersonal. Mengenai gejala yang muncul baik dari segi fisik, emosional, interpersonal, tidak pasti semuanya ciri-ciri menjadi sumber stres kerja, tetapi ciri tersebut memungkinkan seseorang mengalami stres kerja. Skala stres kerja pada sopit taksi dibuat mengacu dari gejala fisik, gejala psikis, dan gejala perilaku.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja

Safarino, dkk (Smet, 1994: 119) menjelaskan stres kerja dapat berasal dari:

a. Stressor yang ada dalam pekerjaan itu sendiri, meliputi beban kerja, fasilitas kerja yang kurang, proses pengambilan keputusan yang lama.

b. Konflik peran, peran di dalam kerja yang tidak jelas, tanggung jawab yang tidak jelas.

c. Masalah dalam hubungan dengan orang lain adalah stressor yang potensial seperti, hubungan dengan atasan, rekan sejawat dan pola hubungan atasan bawahan.

d. Perkembangan karir

e. Iklim dan struktur organisasi, adanya pembatasan perilaku, bagaimana iklim dan budaya di dalam organisasi.

f. Adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.

Menurut Parkinson, dkk (1989: 61-73) faktor-faktor stres kerja antara lain:

a. Beban kerja yang berlebihan

Beban kerja yang berlebihan, sehingga menimbulkan masalah serius bagi pekerja. Pekerjaan yang dikerjakan cenderung menjadi menumpuk, sehingga kecepatan penyelesaian menjadi berkurang, timbul keletihan dan ketidakberdayaan yang dapat menimbulkan stres kerja yang tidak tertahan.

b. Konflik yang berlebihan di dalam organisasi

Konflik selalu ada di dalam setiap organisasi. Konflik bisa timbul di antara manajemen dan serikat buruh maupun konflik antar karyawan.

c. Ambisi dan praktek yang tidak jujur

Seseorang tidak boleh bercita-cita terlalu tinggi dengan melupakan keterbatasan kemampuan dan peluang praktis untuk mewujudkan mimpi. Banyak orang telah menghancurkan diri mereka sendiri dengan terlalu berambisi.

d. Kejenuhan

Banyak eksekutif kehilangan inisiatif karena disebabkan dengan tugas yang sama selama setahun. Kondisi demikian menbuat eksekutif rentan dengan kejenuhan dan hilangnya semangat bekerja.

Safaria dan Rahardi (2004: 53-54) menjelaskan faktor-faktor stres kerja biasanya muncul antara lain berasal dari:

a. Beban tugas yang tinggi.

b. Tidak tersedianya fasilitas untuk mengerjakan tugas.

c. Kebijakan perusahaan.

d. Atasan yang otoriter.

e. Kondisi lingkungan fisik yang panas, bising, dan berbau.

f. Hubungan yang tidak harmonis antara atasan dan bawahan.

g. Kekaburan peran dan tanggung jawab dalam pekerjaan.

h. Adanya persaingan yang tidak sehat antar sesama rekan kerja.

Menurut Anoraga ( ) faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja, antara lain:

a. Disebabkan oleh

b. Hhhhhh

c. Ihhhhh

Menurut Davis dan Newstrom (dalam Nawawi, 2003: 345) faktor yang dapat memicu stres kerja adalah sebagai berikut:

  1. Beban kerja yang berlebihan.
  2. Tekanan dan desakan waktu.
  3. Kualitas supervisi yang jelek.
  4. Iklim politis yang tidak aman.
  5. Umpan balik pelaksanaan kerja yang tidak memadai.
  6. Wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab yang tidak cukup.
  7. Frustrasi.
  8. Konflik antar anggota kelompok atau organisasi.
  9. Perubahan-perubahan dalam pekerjaan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah faktor pekerjaan, misalnya menyangkut beban kerja yang berlebihan, konflik antara atasan dengan bawahan, kejenuhan, faktor dari keluarga, dan faktor dari organisasi seperti perkembangan karir, kepemimpinan atasan yang otoriter, wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab yang tidak cukup dan konflik antar anggota kelompok atau organisasi.

B. Perpsepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi

1. Pengertian persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi

Manusia menunjukkan kualitas fisik dan non fisik yang berbeda satu dengan lainnya. Adanya perbedaan tersebut akan berpengaruh pada perilakunya, baik dalam kehidupan maupun dalam hal pekerjaannya. Adapun perbedaan kualitas fisik maupun non fisik pada setiap orang akan berpengaruh pula pada persepsi manusia terhadap segala sesuatu dan juga akan berpengaruh terhadap bentuk tingkah laku yang muncul.

Menurut Chaplin (2001: 358) persepsi merupakan proses mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan alat indera, sedangkan Walgito (1993: 63) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan ini merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera.

Sahrah (2004: 226) mengatakan bahwa persepsi adalah proses organik yang digunakan oleh individu untuk dapat mengenali objek maupun suatu kejadian melalui penangkapan, pengorganisasian dan penginterprestasian stimulus berdasarkan minat, kepentingan dan pengalaman subjektif yang dimiliki oleh individu. Alasan bersifat subjektif persepsi merupakan proses kognitif yang penting untuk dapat memaknai kejadian yang terjadi di dalam hidup seseorang.

Menurut Sarwono (2002: 94) persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya).

Walgito (2002: 69) menjelaskan persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Lebih lanjut Cronbach (dalam Sahrah, 2004: 226) mengatakan bahwa persepsi akan terjadi jika ada obyek atau stimulus yang akan dipersepsi. Hal ini yang akan menjadi objek atau stimulus yang akan dipersepsikan adalah kepemimpinan dengan gaya otokrasi. Stimulus dapat datang dari luar yang langsung mengenai saraf penerima (sensori). Dapat dikatakan bahwa persepsi terhadap kepemimpinan otokrasi merupakan suatu proses seseorang mengorganisasikan, menginterprestasikan, dan mengevaluasi terhadap ciri-ciri kepemimpinan otokrasi dari atasan mereka.

Ciri-ciri kepemimpinan otokrasi adalah menentukan seluruh kebijaksanaan kelompok, termasuk menentukan metode, tujuan yang harus dicapai serta langkah-langkah pencapaiannya. Menurut Kartono (2004: 83) gaya kepemimpinan otokrasi banyak memberi perintah seperti menolak atau mengabaikan kritik yang dilontarkan kepada pimpinan. Dalam kehidupan kelompok, kondisi ini akan mudah menimbulkan pertentangan yang tidak diarahkan kepada pimpinan tetapi pada” kambing hitam” yang ditemukan. Kelompok terasa kaku, tingkat permusuhan meningkat dan adanya tingkat ketidakpuasan anggota. Menurut Siagian (1994: 33) pemimpin otokrasi berasumsi bahwa maju mundurnya organisasi hanya tergantung pada dirinya. Pimpinan bekerja sungguh-sungguh, belajar keras, tertib, dan tidak boleh dibantah. Sikapnya senantiasa mau menang sendiri, tertutup terhadap ide dari luar dan hanya idenya yang akurat.

Pimpinan yang otokrasi selalu mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang harus dipatuhi. Setiap perintah kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan kepada bawahannya tanpa adanya konsultasi, pimpinan tidak memberi informasi tentang rencana dan tindakan yang harus dilakukan oleh para bawahan. Pimpinan otokrasi senantiasa ingin berkuasa mutlak dan tunggal serta selalu merajai keadaan. Sikap dan prinsipnya sangat kaku dan ketat (Kartono, 2004: 83-84).

Persepsi sopir taksi terhadap gaya kepemimpinan atasan yang otokrasi adalah tanggapan dari sopir taksi terhadap pimpinan mereka yang cenderung memberikan perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi oleh para anggota, tidak mentolelir saran dan kritik, memasukkan policy atau kebijaksanaan tanpa berkonsultasi dengan para anggota.

Dapat disimpulkan bahwa persepsi sopir taksi terhadap gaya kepemimpinan atasannya yang cenderung otokrasi adalah proses tanggapan dari sopir taksi terhadap pimpinan mereka yang cenderung memberi perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi oleh para anggota, tidak mentolelir saran dan kritik, menentukan policy atau kebijaksanaan tanpa berkosultasi dengan para anggota.

2. Aspek-aspek persepsi gaya kepemimpinan otokrasi

Menurut Sarwono (2002: 130), menjelaskan aspek-aspek persepsi, sebagai berikut:

  1. Kognisi

Aspek kognisi adalah cara individu memandang dan juga cara individu berpikir mengenai sesuatu berdasarkan keinginan, penghargaan, danpengalaman dari yang pernah didengar atau dilihat dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Afeksi

Aspek afeksi adalah perasaan (sedih, gembira, cemas, kagum dan sebagainya).Berdasarkan pada emosi individu tersebut, individu lebih menekankan pada perasaan dalam mempersepsikan stimulus yang didapat.

Menurut Walgito (2002: 70) menjelaskan bahwa aspek-aspek persepsi adalah:

  1. Obyek yang dipersepsi

Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsikan, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor

  1. Alat indera, syaraf dan diteruskan susunan saraf.

Merupakan alat indera atau reseptor yang merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu adanya saraf sensori sebagai alat untuk menerima meneruskan stimulus yang diterima reseptor kepusat susunan saraf.

  1. Perhatian

Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian. Perhatian terjadi jika stimulus mengatifkan satu atau lebih saraf reseptor dari panca indera dan hasil sensasi ini dibawa ke otak untuk diproses. Perhatian dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja.

Menurut Winardi (1990 : 62) ada dua aspek kepemimpinan otokrasi, yaitu:

a. Menggunakan perintah-perintah

b. Pemaksaan dan tindakan yang agak arbiter dalam hubungan antara pemimpin dengan pihak baeahan.

c. Pemimpin cenderung mencurahkan perintah sepenuhnya pada pekerjaan.

d. Pimpinan otokrasi cenderung melakukan pengawasan seketat mungkin dengan maksud agar pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

e. Menggunakan perintah-perintah dan diperkuat oleh adanya sanksi-sanksi.

Menurut Nawawi (1998: 86-87) ciri-ciri kepemimpinan otikrasi ditunjukkan seperti berikut:

  1. kepemimpinan yang otokrasi berorientasi pada hasil yang dicapai dalam rangka mewujudkan tujuannya, dengan tidak sekedar memerintah, tetapi juga berusaha memberikan motivasi agar tumbuh kesediaan melaksanakan perintahnya.
  2. Pemimpin berorientasi pada tugas secara efektif dan efesien, agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal.
  3. Pemimpin menuntut ketaatan dan kepatuhan, dengan membuat dan menetapkan peraturan-peraturan dan mengawasi pelaksanaannya.
  4. Pemimpin kurang yakin pada diri sendiri, sehingga memiliki kecenderungan lebih memanfaatkan orang lain untuk menangani keputusannya, daripada mengalami kesalahan bila ditanganinya sendiri. Kesalahan mudah ditimpakan pada orang lain dan bukan karena kekeliruan keputusan atau intruksinya sebagai pemimpin.

Menurut Winardi (1990 : 62) ada dua aspek kepemimpinan otokrasi, yaitu:

a. Menggunakan perintah-perintah

b. Pemaksaan dan tindakan yang agak arbiter dalam hubungan antara pemimpin dengan pihak bawahan

c. Pemimpin cenderung mencurahkan perintah sepenuhnya pada pekerjaan.

d. Pimpinan otokrasi cenderung melakukan pengawasan seketat mungkin dengan maksud agar pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

e. Menggunakan perintah-perintah dan diperkuat oleh adanya sanksi-sanksi.

Kartono (2004 : 83-84) mengemukakan lima ciri gaya kepemimpinan otokrasi yaitu :

a. Memberikan perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi oleh para anggota, serta tidak metolelir saran dan kritik.

b. Menentukan policy atau kebijakan tanpa berkonsultasi dengan para anggota.

c. Tidak memberi informasi yang detail tentang rencana-rencana yang akan datang, tetapi hanya memberitahukan langkah-langkah langsung yang harus diambil pada para anggota

d. Memberi pujian atau kritik pribadi terhadap anggota kelompoknya dengan inisiatif sendiri,

e. Sikap selalu menjauhi kelompoknya (menyisihkan diri).

Siagian (1994: 75 ) menyebutkan ciri-ciri pimpinan otokrasi, antara lain:

  1. Beban kerja organisasi pada umumnya ditanggung oleh pimpinan.
  2. Bawahan dianggap oleh pimpinan sebagai pelaksana dan tidak boleh memberikan ide-ide.
  3. Bekerja dengan disiplin tinggi, belajar keras dan tidak kenal lelah.
  4. Menentukan kebijakan sendiri dan kalau ada musyawarah sifatnya hanya penawaran saja.
  5. Memiliki kepercayaan Rendah terhadap bawahan.
  6. Komunikasi dilakukan secara tertutup dan satu arah.
  7. Korektif dan minta penyelesaian tugas pada waktu sekarang.

Berdasarkan pendapat ahli diatas tentang ciri-ciri gaya kepemimpinan otokrasi terdiri atas beberapa perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi oleh para anggota, serta tidak mentolelir saran atau kritik, memiliki kepercayaan rendah, kepemimpinan yang otokrasi berorientasi pada hasil yang dicapai dalam rangka mewujudkan tujuannya, dengan tidak sekedar memerintah, tetapi juga berusaha memberikan motivasi agar tumbuh kesediaan melaksanakan perintahnya, pemimpin berorientasi pada tugas secara efektif dan efesien, agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal, pemimpin menuntut ketaatan dan kepatuhan, dengan membuat dan menetapkan peraturan-peraturan dan mengawasi pelaksanaannya, pemimpin kurang yakin pada diri sendiri, sehingga memiliki kecenderungan lebih memanfaatkan orang lain untuk menangani keputusannya, daripada mengalami kesalahan bila ditanganinya sendiri. Kesalahan mudah ditimpakan pada orang lain dan bukan karena kekeliruan keputusan atau intruksinya sebagai pemimpin.

C. Hubungan antara stres kerja pada sopir taksi dengan

persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi

Berbagai peristiwa yang dialami dalam hidup seseorang menghasilkan pengalaman-pengalaman yang berdampak secara mental maupun fisik. Pada tiap-tiap orang pengalaman-pengalaman tersebut dapat menjadikan stres pada seseorang. Itu semua dapat dilihat dari sudut pandang yang bermacam-macam dan penerimaaan yang berbeda-beda pula. Pada saat seseorang mengalami peristiwa yang bersifat negatif, dimana ia merasa tidak nyaman dan terancam atau mengalami konflik. Besar kemungkinan orang tersebut mengalami stres. Apabila keadaan stres tersebut timbul dari lingkungan tempat sseorang bekerja, maka disebut sebagai stres kerja.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya stres kerja antara lain adalah faktor yang ada dalam diri seseorang, seperti karakteristik pribadi seseorang yaitu adanya kematangan emosi, Ada pula faktor lainnya berasal dari budaya organisasi yang di dalamnya menyangkut kepemimpinan otokrasi.

Sopir taksi yang sehari-hari mengalami ketegangan emosi akibat lingkungan kerja, seperti tuntutan kerja, beban kerja, kakunya iklim budaya organisasi menjadikan semakin tertekan dengan adanya kebijakan seseorang atasan.mempunyai persepsi terhadap pemimpin mereka yang hanya memikirkan kemajuan perusahaan saja tanpa memperdulikan kesejahteraan bawahannya sehingga mengakibatkan munculnya kelelahan fisik dan emosional. Akibatnya sopir taksi akan kehilangan motivasi untuk bekerja, merasa tidak puas dengan hasil kerja sendiri dan kehilangan konsentrasi dalam menjalankan pekerjaannya.

Dapat disimpulkan bahwa persepsi sopir taksi terhadap gaya kepemimpinan atasan yang otokrasi dapat mempengaruhi munculnya stres kerja. Sopir taksi akan mengalami stres jika mempersepsikan atasan mereka tidak mentolelir saran, menentukan kebijakan tanpa mengkonsultasikan dengan karyawan atau memberi perintah yang harus dipatuhi karyawan.

D. Hipotesis

Ada hubungan positif antara stres kerja pada sopir taksi dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi. Semakin positif persepsi sopir taksi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi maka semakin tinggi stres kerja. Sebaliknya, semakin negatif persepsi sopir taksi terhadap gaya kepemimpinan otokrasi maka semakin rendah stres kerja yang dialami pada sopir taksi.